Pos

Rilis Pers Nomor: 40/LBH/RP/II/2023 LBH Medan Surati Bupati dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Deli Serdang “JANGAN TUNGGU ADA KORBAN BARU DIPERBAIKI”

Rilis Pers
Nomor: 40/LBH/RP/II/2023

LBH Medan Surati Bupati dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Deli Serdang “JANGAN TUNGGU ADA KORBAN BARU DIPERBAIKI”

Selasa, 21 Februari 2023, Jalan Bustamam, Pasar X Bandar Klipa, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara merupakan jalan umum yang tidak hanya digunakan oleh masyarakat Pasar X Bandar Klipa namun juga masyarakat dari wilayah lain sebagai akses keluar-masuk sehari-hari ke tempat pekerjaan, sekolah, pasar, tempat ibadah dan tujuan lainnya.

Namun, saat ini kondisi jalan tersebut rusak parah dan berlubang menyebabkan arus lalu lintas atau transportasi masyarakat menjadi terhambat dan waktu tempuh perjalanan semakin lama. Diduga Kondisi ini juga menyebabkan mobilisasi perekonomian terganggu, menimbulkan kerugian karena kendaraan rentan mengalami kerusakan khususnya di bagain as roda, jari-jari dan lingkar dan lainya.

Serta jumlah emisi polusi dari knalpot yang meningkat saat kendaraan direm. Selain proses perjalanan pengemudi menjadi terganggu saat menjalani aktivitas sehari-hari karena arus lalu lintas menjadi lambat, pengemudi juga rentan terjatuh, terperosok, terserempet ataupun ditabrak kendaraan lain saat menghindari jalan rusak tersebut.

Jalan yang berlubang juga menjadi sarang debu saat musim kemarau dan menimbulkan genangan air saat musim hujan dan lubang menjadi tidak terlihat sehingga menyulitkan pejalan kaki dan pengemudi kendaraan bermotor untuk memilih jalan yang bisa dilewati.

Bahwa dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights) atau DUHAM dan Pasal 28G (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan jika setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu sehingga kondisi infrastruktur jalan yang rusak di sepanjang Jalan Bustamam, Pasar X Bandar Klipa, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat pengguna jalan tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, jalan merupakan bagian dari layanan publik barang dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan telah mengatur penguasaan atas jalan ada pada negara dan wewenang penguasaan, penyelenggaraan, pengawasan tersebut diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa. Oleh karena itu sudah sepatutnya secara hukum Bupati dan Kepala Dinas PUPR bertanggung jawab untuk memperbaiki jalan tersebut segera.

Infrastruktur jalan merupakan fasilitas yang sangat vital bagi masyarakat sebagai salah satu pilar utama untuk meningkatkan mobilitas yang menyokong aktivitas perekonomian dan merupakan hak masyarakat sesuai dengan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005.

Mengingat kondisi tersebut diduga sudah dibiarkan berlarut-larut dan hanya ditambal dengan sederhana menggunakan kerikil oleh masyarakat setempat/pihak lain, LBH Medan menilai perhatian dan keseriusan pemerintah Kab. Deli Serdang sangat minim untuk melakukan Penyelenggaraan Jalan yang layak fungsi dan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Deli Serdang seolah-olah hanya menuntut kewajiban masyarakat untuk membayar pajak namun diduga tidak melakukan kewajibannya untuk menyediakan infrastruktur dasar yang merupakan hak masyarakat.

Padahal pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai penyelenggara jalan memiliki kewajiban untuk segera memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan pemerintah dan/atau pemerintah daerah juga diwajibkan untuk memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak, jika belum dapat melakukan perbaikan jalan untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) telah menyurati Bupati dan Kepala Dinas PUPR secera resmi tertanggal 20 Februari 2023, guna meminta secara tegas kepada Bupati Kabupaten Deli Serdang Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Deli Serdang segera memperbaiki jalan tersebut untuk mewujudkan pelayanan dan infrastruktur publik yang berkualitas, menciptakan keamanan dan kenyamanan berlalu-lintas guna menyokong mobilisasi dan perekonomian masyarakat.

Narahubung:
IRVAN SAPUTRA, S.H.,M.H (0821 6373 6197)

MARSELINUS DUHA, S.H (0853 5990 1921)

 

 

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

REVIEW : Apakah Keadilan Mudah Untuk Didapatkan?

“Apakah Keadilan Mudah Untuk Didapatkan? “

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, di sepanjang tahun 2022 menerima banyak pengaduan dengan berbagai jenis kasus yang berkaitan dengan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Sipil dan Politik (Sipol) dan Sumber Daya Alam (SDA). Kasus yang masuk ke sistem Simpensus LBH Medan ada 32 kasus, jumlah tersebut belum semua kasus yang masuk ke sistem Simpensus millik LBH Medan dikarenakan ada kerusakan sistem, sehingga total kasus yang tercatat belum secara keseluruhan. LBH Medan mencatat ada 24 kasus, 2 diantaranya tahap konsultasi dan 22 lagi naik ke tahap litigasi, non litigasi maupun keduanya, ada 8 kasus yang ditangani secara litigasi dan 5 kasus ditangani secara non litigasi. Pemohon bantuan yang datang, menurut gender ada 13 perempuan dan 11 laki-laki.

Dari ke 24 pengaduan tersebut ada 22 pengaduan yang merupakan individu kemudian 2 pengaduan dari keluarga. Untuk kasus pidana ada 15 kasus, PHI ada 5 kasus, dan perdata ada 4 kasus. Di LBH Medan sendiri ada 3 divisi yang menangani kasus sesuai dengan pengaduan yang diterima. Pada Divisi PPA ada 7 pengaduan Kasus Kekerasan Seksual yang masuk ke LBH Medan, mayoritas korbannya adalah anak berusia 11-14 tahun dan 1 orang korbannya merupakan anak laki-laki.Ironinya dalam kasus Kekerasan seksual ini pelakunya rata-rata merupakan orang terdekat sang anak, mulai dari tetangganya, keluarga dan bahkan ayah kandungnya sendiri. Untuk tindak lanjut pengaduan LBH Medan melakukan tindakan berupa pelaporan kepada pihak kepolisian, penyelidikan, penyidikan dan pendampingan terhadap korban dalam bentuk pemeriksaaan kesehatan fisik dan mental korban.

Dari ke 7 kasus tersebut ada 1 kasus yang jalan di tempat dikarenakan pelaku dalam status DPO. Dalam hal penanganan kasus Kekerasan Seksual ini yang menjadi kendala LBH Medan adalah proses pelaporan kepada pihak Kepolisian yang terkesan diperlambat dan diabaikan. Kemudian Divisi Sipol, ada sebanyak 15 kasus pelanggaran hak sipil dan politik baik berupa kasus pidana, perdata, maupun pelanggaran terhadap hak-hak buruh (PHI). Ada 2 kasus menyangkut pengakuan dan jaminan atas pertanahan, 7 kasus Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan berdasarkan fokus isu LBH Medan mencatat ada sebanyak 6 kasus pelanggaran hak sipil baik korban maupun tersangka yang secara khusus di bawah naungan Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Dalam berbagai pelanggaran tersebut justru Kepolisian yang menjadi pelanggar paling banyak, polisi yang seharusnya melayani dan mengayomi masyarakat justru sebaliknya. Dan yang menjadi pelapor merupakan masyarakat di garis kemiskinan, namun pihak kepolisian juga terkesan menganggap remeh akan pelaporan tersebut. Jika orang miskin yang melapor, maka prosesnya akan lama, tetapi jika orang kaya yang melapor, proses akan dipercepat. Kemudian dalam Divisi SDA, tercatat ada 5 kasus mulai dari kasus pertanahan yang berpotensi menjadi kriminalisasi, eksploitasi satwa, pembangunan infrastruktur dan tindak pidana penyerobotan tanah.

Untuk penanganan banjir di Kota Medan dan di Belawan, LBH Medan menarik kesimpulan bahwa banjir di kota Medan selain cuaca, banjir juga disebabkan karna pasang surutnya air laut, kemudian adanya alih fungsi kawasan mangrove menjadi sawit yang diduga ilegal, banyaknya sampah yang dibuang sembarangan dan pembangunan infrastruktur pelabuhan. Sampai saat ini belum ada solusi yang tepat untuk menangani masalah banjir di Kota Medan. Kemudian kekurangan ruang terbuka hijau juga sangat mempengaruhi potensi terjadinya banjir. Harus ada 20% ruang terbuka hijau di Kota Medan, namun hal tersebut nihil dikarenakan pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan.

Perjuangan LBH Medan masih akan terus berlanjut, sesuai dengan salah satu misi LBH Medan, “menjadikan YLBHI-LBH Medan sebagai basis/rumah perjuangan bagi masyarakat miskin dan tertindas, dalam memperjuangkan sitem hukum yang adil dan berlandaskan Hak Asasi Manusia (HAM)”.

 

Artikel ini ditulis oleh Vitalentauly Nainggolan

Mahasiswi PKL dari Fakultas Hukum Universitas Sari Mutiara sebagai refleksi dari Konferensi Pers dan Launching Buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Editor : Rimma Itasari Nababan

 

REVIEW : Benarkah Polisi Sekarang Berbalik Menjadi Musuh Masyarakat?

“Kami berusaha supaya setiap tahun ada semacam refleksi penegakan hukum dan hak asasi manusia khususnya di Sumatera Utara berdasarkan perspektif LBH Medan yang tentunya berasal dari pengamatan dan pengaduan masyarakat,” tutur Ismail Lubis, S.H. selaku Direktur LBH Medan dalam pembukaan konferensi pers dan launching buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Adapun isu-isu yang dibahas diambil dari tiga divisi yang ada yaitu, Divisi Sipil dan Politik; Divisi SDA/Lingkungan; dan Divisi Perlindungan Perempuan & Anak. Jumlah kasus yang tercatat dalam CATAHU adalah sebanyak 24 kasus dimana 22 kasus berlanjut ke proses litigasi dan 2 kasus hanya sebatas konsultasi. Di antara 24 kasus, yang paling dominan adalah kasus pidana sebanyak 15 kasus disusul dengan kasus PHI sebanyak 5 kasus dan terakhir adalah kasus perdata sebanyak 4 kasus.

Pemaparan mengenai buku ini dimulai dari divisi Sipil dan Politik yang diketuai oleh Maswan Tambak, S.H. Beliau secara gamblang mengatakan bahwa bahkan sampai saat ini banyak isu sipil yang pelakunya adalah polisi, dimana aparat penegak hukum malah menjadi pelanggar hak sipil dan politik masyarakat. “Banyak kita temui ketika orang miskin menjadi korban dan melapor malah dipersulit dan kasus dibiarkan hingga bertahun- tahun,” ucap beliau seakan menegaskan bahwa penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat berada. Dilanjut dengan pemaparan dari perwakilan Divisi Perlindungan Perempuan & Anak dimana korban kasus Kekerasan Seksual yang tercatat dalam buku tersebut mayoritas anakanak berusia 11-14 tahun dan ironisnya pelaku cenderung adalah orang yang dekat dengan korban seperti tetangga, keluarga, bahkan orang tua kandung mereka sendiri.

Kasus Kekerasan Seksual ini bisa dikatakan memiliki proses yang panjang karena harus dilakukan pelaporan, penyelidikan, penyidikan, serta proses kesehatan dimana korban yang berusia di bawah umur harus menjalani pemeriksaan. Isu yang terakhir dipaparkan dalam Konferensi kali ini adalah isu tentang lingkungan yang disampaikan oleh ketua Divisi SDA/Lingkungan yaitu Muhammad Alinafiah Matondang, S.H., M.Hum dimana isu yang terjadi tentu saja tentang lingkungan seperti contohnya penanganan banjir di kota Medan yang terjadi di beberapa wilayah seperti Belawan dikarenakan pasang air laut, ada juga wilayah yang banjir dikarenakan pembangunan infrastruktur yang tidak merata, sampah menumpuk yang dibiarkan dan yang paling parah adalah alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan sawit alias tindakan ilegal. Itulah beberapa penjelasan singkat mengenai isu-isu yang dibahas ketiga divisi pada Konferensi Pers Launching Buku LBH Medan 2022. Walaupun sempat terjadi kesalahan teknis pada SIMPENSUS (Sistem informasi dan Pendokumentasian Kasus) LBH Medan di pertengahan tahun 2022 yang mengakibatkan tidak semua kasus dapat tercatat secara keseluruhan namun dapat dipastikan semua kasus dan penyelesaian hukumnya dalam buku dipaparkan dengan jelas oleh masing-masing divisi.

Ada satu kalimat yang menarik atensi saya yaitu ketika ketua Divisi Sipil dan Politik secara tegas menyampaikan opininya mengenai polisi sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya mengayomi masyarakat nyatanya malah menjadi oknum yang mempersulit masyarakat khususnya masyarakat miskin yang membutuhkan perlindungan. Saya sangat berharap agar kedepannya Kepolisian Republik Indonesia dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan bekerja lebih sungguh-sungguh untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat tanpa pandang bulu serta saya berharap LBH Medan akan terus berkomitmen untuk menjadi organisasi masyarakat yang memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas berlandaskan Hak Asasi Manusia.

 

Artikel ini ditulis oleh Ananda Geraldine

Mahasiswi PKL dari Fakultas Hukum Universitas Prima sebagai refleksi dari Konferensi Pers dan Launching Buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Editor : Rimma Itasari Nababan

HARI PERS NASIONAL 2023, KESEJAHTERAAN & PERLINDUNGAN INSAN PERS JAUH PANGGANG DARI API

Release Press
Nomor:35/LBH/RP/2023

Tanggal 9 Februari 2023, para insan pers tanah air merayakan dan meluapkan euphoria hari pers nasional. LBH Medan yang merupakan mitra kerja insan pers khususnya Sumatera Utara dalam hal mengawal penegakan hukum dan hak asasi manusia di sumatera utara mengucapkan selamat Hari Pers Nasional (HPS) yang ke-38. Semoga para insan pers dalam keadaan sehat, sejahtera dan tetap semangat dalam melaksanakan kerja-kerja mulianya.

Prinsipnya setiap perayaan/hari jadi suatu lembaga, institusi dan lainya seyogiyanya menggambarkan keadaan bahagia dan suka cita, hal ini tidak terlepas bagai para insan pers. Namun berdasarkan pemantauan lapangan dan wawancara terhadap beberapa insan pers kota medan masih terdapat permasalahan besar dan kesedihan terhadap kawan –kawan pers.

LBH Medan mencatat ada tiga permasalahan besar pers hari ini. Pertama, terkait kesejahteran para insan pers yang ditandai dengan masih banyaknya insan pers yang belum mendapatkan upah/gaji sesuai aturan hukum yang berlaku atau sesuai upah minimum baik UMK/UMP. Belum mendaptkan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.

Bahkan diduga masih ada insan pers yang tidak punya gaji/upah. Serta tidak sedikit insan pers menyatakan jika “perusaahan pers sejahtera, tapi persnya sengasara”.

Kedua, permasalahan perlindungan pers dalam hal ini baik secara fisik maupun psikis mengancam pers. hal ini ditandai dengan masih banyak pers yang diduga dikriminalisasi, dianiaya, diintimidasi dan diintervensi dalam melaksanakan kerja-kerja pers. Bahkan berdasarkan data dan hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada akhir 2022, tercatat ada 82,6 % dari 852 jurnalis perempuan yang dilibatkan dalam risiet di 34 provinsi mengalami kekerasan seksual baik melalui daring maupun luring. Parahnya 26 % diduga pelaku kekerasan seksual berasal dari tempat insan pers bekerja serta orang lain yang ditemui dilapangan saat melakukan liputan.

Ketiga, lemahnya pengawasan dan perlindungan Dewan Pers terhadap insan pers dan perusahan pers hal ini ditandai dengan adanya dugaan media yang tidak terverifikasi Dewan Pers yang berakibat munculnya pers/wartawan gadungan atau istilah lain dikalangan insan pers kota medan Wartawan “Bodrexs” yang diketahui melakuan perbuatan-perbuatan yang mencoreng kerja-kerja pers.

Misalanya diduga melakuan pemerasan dan pengancaman terhadap instansi maupun person untuk kepentingan pribadi. Lemahnya pengawasan Dewan Pers terhadap permasalan tersebut secara tidak langsung telah mencoreng insan pers yang telah menjalankan tugas mulianya sebagai bagian dari pilar demokrasi secara baik dan benar. Padahal secara fungsinya Dewan Pers mempunyai tanggung jawab atas permasalahan tersebut.

Maka patut dan wajar secara hukum LBH Medan menillai dewasa ini kesejahteran dan perlindungan pers seperti peribahasa “jauh panggang dari api” yang menggambarkan kesejahteran dan perlindungan pers tidak sesuai dengan harapan dan bahkan masih jauh dari apa yang diharapan kawan-kawan pers khususnya pers kota Medan.

Oleh karena itu dalam LBH Medan meminta secara tegas kepada pemerintah, perusahan pers dan dewan pers untuk secara maksimal dan nyata mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan pers, dimana hal tersebut pada dasarnya telah dijamin oleh konstitusi 1945, UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM ,UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), International Labour Organization (ILO).

 

Narahubung:
IRVAN SAPUTRA, SH., MH. (0821 6373 6197)
BAGUS SATRIO, SH. (0857 6250 9653)

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 310/LBH/RP/X/2022 “LBH MEDAN BUKA POSKO PENGADUAN KEKERASAN SEKSUAL DI INSTANSI PUBLIK DAN SWASTA”

 

 (Lembaga Bantuan Hukum Medan, 28 Oktober 2022). Seorang pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) berinisial N mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh sesama rekan kerjanya.  Kasus ini terjadi pada bulan Desember 2019 saat dalam rangkaian kegiatan rapat Kemenkop UKM di sebuah hotel. Saat itu, korban diduga dicekoki minuman keras sebelum diperkosa oleh empat orang. Tiga hari setelah kejadian, korban akhirnya berani untuk mengungkapkan kejadiannya kepada keluarga dan melaporkan ke Kepolisian Resor Kota Bogor.

Keempat pelaku akhirnya ditangkap namun dua orang yang menjaga pintu saat pemerkosaan terjadi tidak ditangkap. Saat proses penyidikan, N dan keluarga mendapat intimidasi dari keluarga pelaku yang meminta korban melepaskan pelaku. Korban juga mendapat tekanan di kantor bahkan hingga didatangi pejabat Kemenkop UKM. Puncaknya korban dipaksa menikah dengan salah satu pelaku yang berinisial ZP. Pernikahan juga didorong dan difasilitasi oleh Kepolisian Resor Kota Bogor hingga akhirnya dilaksanakan tanggal 12 Maret 2020 saat pelaku masih ditahan. Kemudian atas dasar pernikahan tersebut seluruh pelaku dilepaskan.

Dua terduga pelaku berinisial MF dan NN yang masih berstatus honorer sudah dipecat sejak 2020. Dua pelaku lainnya WH dan ZP yang berstatus PNS dan CPNS hanya diturunkan jabatannya dan masih bekerja di lingkungan Kemenkop UKM. Bahkan ZP dikabarkan mendapat beasiswa dari Kemenkop UKM. Setelah pernikahan, ZP hanya sesekali datang ke rumah dan N hanya dinafkahi Rp300.000 per bulan. Terbaru Z mengajukan perceraian dengan alasan ketidakharmonisan. Keluarga menduga pernikahan dilakukan hanya intrik pelaku agar dilepaskan dari tuntutan hukum.

Kasus ini menambah semakin banyaknya catatan buruk kasus kekerasan seksual khususnya yang dilakukan oleh pejabat di instansi pemerintahan. Beberapa waktu lalu juga terungkap kekerasan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh 8 pegawai Komisi Penyebaran Indonesia (KPI) terhadap salah satu rekan kerjanya. Kekerasan yang dilakukan berlangsung lama dan terdapat beberapa korban namun tidak berani melapor.

Pada 2019 lalu, kekerasan seksual juga pernah dialami staf Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berinisial RA yang dilakukan oleh atasannya. Pada 2016, seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya. Lalu pada 2014 seorang pegawai di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA juga melapor telah mengalami pelecehan seksual oleh general manager.

Kekerasan seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Padahal seyogyanya setiap manusia berhak untuk hidup, mengembangkan diri, bekerja dengan aman serta bebas dari segala praktik diskriminasi dan kekerasan sebagaimana diatur dalam konvensi Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi pada 24 Juli 1984 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 G Ayat mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan mendorong penghapusan berbagai praktik kekerasan seksual mengecam segala bentuk kejahatan dan kekerasan seksual. Para pejabat dan pegawai di berbagai intansi khususnya pemerintahan seharusnya menjadi pengayom dan pelindung. Sehingga LBH Medan menuntut agar pemerintah mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk menghapus kekerasan seksual dan mewujudkan ruang aman di negara Indonesia, membentuk satuan tugas independen, menindak tegas pelaku kekerasan dan memberikan bantuan pemulihan pada korban.

LBH Medan juga meminta instansi-instansi baik publik maupun swasta untuk membentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Sebagai langkah konkrit untuk mengentaskan segala bentuk kekerasan, LBH Medan membuka posko pengaduan dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di instansi publik termasuk pemerintahan dan instansi swasta. LBH Medan juga mengajak segenap pihak untuk bersama-sama memberikan bantuan dukungan bagi korban agar memiliki keberanian mengungkapkan kebenaran, melaporkan dan melawan segala praktik kekerasan seksual.

 

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

 

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 310/LBH/RP/X/2022 “ANAK ANGKAT DIPERBUDAK, HUKUM HARUS BERTINDAK”

 

 (Lembaga Bantuan Hukum Medan, 26 Oktober 2022). Kasus perbudakan anak di bawah umur terjadi di toko Dora, Jalan MJ Sutoyo, Kelurahan Satria, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebingtinggi. Dua orang kakak beradik berinisial RMS (17) dan SPM (10) diduga menjadi korban perbudakan anak oleh Dora Silalahi. Kedua anak di bawah umur berasal dari Sibolga dan dijadikan anak angkat oleh Dora Silalahi. Namun selama menetap di sana, mereka dipekerjakan sebagai pelayan toko yang menjual rokok dan minuman keras hingga larut malam tanpa digaji.

Peristiwa miris ini terbongkar melalui laporan dan video seorang petugas PJKA Tebingtinggi yang melihat RMS dikurung dalam sebuah ruangan berterali besi di lantai dua rumah Dora. Anak tersebut memberi pengakuan jika dia dan saudaranya disekap dalam kondisi kelaparan dan hanya diberi makan dua kali sehari. Keduanya menjadi korban perbudakan selama bertahun-tahun dan kerap mengalami kekerasan.

Saat ditemui oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kota Tebingtinggi keduanya terlihat kekurangan nutrisi dengan badan kurus sebab jarang diberi makan oleh Dora, pakaian compang camping seperti tidak terurus . Pada bagian belakang badan korban ditemukan bekas luka seperti dicakar cakar dan dipukul benda keras.

Setiap manusia termasuk anak berhak hidup secara layak, mendapatkan perlindungan dan terpenuhi Hak Asasi Manusianya tanpa diskriminasi sebagaimana dilindungi dalam Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Hak-hak anak secara khusus diatur juga dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) dimana dalam Pasal 6 dan Pasal 19 mengatur secara tegas bahwa semua anak berhak atas kehidupan. Tiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian. Pemerintah perlu memastikan bahwa anak bisa bertahan hidup dan tumbuh dengan sehat.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara spesifik yang berkaitan dengan Hak Asasi Anak yang terdapat dalam Pasal 28B Ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain itu, beberapa peraturan perundang-undangan lain sudah mulai diciptakan dengan tujuan untuk mewujudkan perlindungan dan penegakan hak anak seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan perlindungan anak mengutuk keras segala bentuk kejahatan dan kekerasan terhadap anak. Sehingga LBH Medan menuntut agar pemerintah bertanggung jawab, mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan perlindungan,  mewujudkan hak-hak anak, menghapus segala praktik kekerasan terhadap anak dan mewujudkan ruang kehidupan yang aman bagi anak di negara Indonesia, menindak tegas pelaku kekerasan serta memberikan bantuan pemulihan pada anak yang menjadi korban.

 

Penulis dan Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

 

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 299/LBH/RP/X/2022 “Kadisdik Sergai Ancam Patahkan Leher Wartawan : Algojo atau Pelayan Publik?” “Dimintai Konfirmasi, Kadisdik Sergai Ancam Patahkan Leher Wartawan”

 

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 21 Oktober 2022). Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Serdang Bedagai, Suwanto Nasution melakukan pengancaman kekerasan terhadap seorang wartawan Medan Bisnis yang bernama Jhoni Sitompul pada Rabu, 19 Oktober 2022. Pengancaman bermula saat wartawan menghubungi Kadisdik via telepon untuk mengonfirmasi tembok sekolah yang roboh di SD Negeri 104301 Pematang Ganjang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Sergai roboh pada Rabu, 19 Oktober 2022 sekitar pukul 08.00 WIB.

Insiden tembok kamar mandi roboh ini mengakibatkan 3 orang siswa kelas lima terluka dan dan seorang diantaranya dilaporkan mengalami luka serius di bagian punggung belakang sehingga dibawa ke dukun patah. Namun, Kadisdik yang dimintai konfirmasi pada sore harinya malah membalas dengan nada ketus disertai ancaman dengan mengatakan “Yang mana yang patah tulang, bisa tunjukkan?. Nanti kalau nggak patah tulang, tulang kau yang kupatahkan.” Kalimat arogan ini tidak sepantasnya diucapkan khususnya terhadap wartawan.

Seorang wartawan berhak atas penghidupan, kemerdekaan, keselamatan dan terbebas dari ancaman yang membahayakan dirinya. Hal ini dijamin dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights. Wartawan juga berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 F.

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang turut dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, diatur secara tegas bahwa wartawan mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Sehingga dalam kasus a quo, seharusnya Kadisdik menjawab dan memberikan informasi berdasarkan apa yang diketahui sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dalam berdemokrasi meminta Kadisdik menyampaikan permohonan maaf serta meminta Bupati Serdang Bedagai mengambil sikap dengan mengevaluasi jajaran pemerintahan dibawahnya, memberikan sanksi tegas serta memberhentikan pejabat yang tidak dapat menjalan tugas dan wewenangnya sebagai pelayan publik.

 

 

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

Kerangkeng Manusia Adalah Pelanggaran HAM Berat

Kerangkeng Manusia

LBH Medan, Press Release – Kasus kerangkeng manusia milik Bupati non-aktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) terkait dugaan perbudakan modern yang telah dilaporkan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) ke komnas HAM memasuki babak baru.

Berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM mengungkap tabir adanya dugaan penyiksaan, kekerasan dan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Penyelidikan yang dipimpin komisioner Komnas HAM RI M. Choirul Anam telah memeriksa 48 orang saksi yang terdiri dari penyidik KPK, Terbit Perangin-angin, Penghuni, Mantan penghuni kerangkeng beserta keluarganya, kepala dan dokter puskesmas, serta staf pemerintah desa.

Hasil Pemantauan dan Penyelidikan menjelaskan bahwa kerangkeng tersebut sudah ada sejak tahun 2012 dan saat ini ada 57 orang penghuni kerangkeng. Jumlah tersebut dibagi menjadi dua kerangkeng yang berukuran 6×6 meter dengan masing-masing sejumlah 30 penghuni dan 27 penghuni.

Miris temuan Komnas HAM diduga ada 26 dugaan bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni kerangkeng seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, disuruh bergelantungan di kerangkeng seperti monyet (gantung monyet), dicambuk anggota tubuhnya dengan selang.

Dua kerangkeng manusia serupa penjara yang terbuat dari besi diduga digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang. Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya. Selepas bekerja, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng, sehingga tak memiliki akses keluar.

Dugaan kekerasan dan penyiksaan dilakukan dengan menggunakan sekurangnya 18 alat seperti tang, cabai, selang, palu dll. Kekejaman tersebut menggambarkan adanya Perbudakan modern yang berkedok rehabilitasi narkotika. Akibat tindak kekerasan yang terjadi sedikitnya diduga telah memakan 6 (enam) orang korban meninggal dunia.

Bahkan tidak hanya berhenti ditindakan kekerasan saja, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan 25 fakta yang mendukung temuan dari Komnas HAM diduga adanya pengondisian masyarakat untuk mendukung keberadaan sel, tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat, tidak ada aktivitas rehabilitasi dan pembatasan kunjungan.

Fakta baru diduga adanya keterlibatan oknum TNI dan Polri dalam tindak penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni kerangkeng.

Setidaknya ada 19 orang yang patut diduga sebagai pelaku kekerasan, diantaranya pengurus kerangkeng, penghuni lama, anggota ormas tertentu hingga keluarga Bupati,disinyalir pelanggaran HAM tersebut ditopang kekuatan uang dan kekuasaan Bupati Langkat.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia menduga tindakan yang dilakukan oleh Bupati Langkat dengan membuat kerangkeng manusia tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM berat. Karena jika mengacu pada hasil temuan Komnas HAM dan LPSK, dugaan tindak penyiksaan atau kekerasan serta merendahkan harkat dan martabat manusia tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis dan sangat kejam ditambah lagi hal tersebut diduga dilakukan oleh Penguasa.

Seharusnya Bupati Langkat melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan malah sebaliknya yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Oleh karenanya LBH Medan menilai jika perkara a quo patut dibawa diadili di pengadilan HAM dan medorong LPSK memberikan Perlindungan maksimal kepada korban dan saksi karena diduga rentan mendapatkan intimidasi.

LBH Medan menduga tindakan Bupati yang juga melibatkan oknum TNI dan Polri dll, telah melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 A dan G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 4 UU 39 Tahun 1999, Pasl 7 huruf b UU Nomo 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia/ United Nations Declaration of Human Rights), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia, Pasal 6 Ayat (1) ICCPR (International Covenan Civil and Political Rights).

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H (0823 8527 8480)

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

https://news.detik.com/berita/d-6004524/8-tersangka-kerangkeng-bupati-langkat-tak-ditahan-lbh-medan-tidak-fair

Kekerasan Seksual Meningkat, Korban Semakin Sekarat

“Aku ingin bapak dipenjara”

Begitulah harapan penuh kesedihan yang dilontarkan oleh RE saat menceritakan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh sang bapak kandung terhadapnya. Harapan terakhir yang sebenarnya  tidak akan bisa menutup luka fisik dan psikis yang timbul karena ulah bejat bapakya. Kekecewaan yang mendalam saat orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindungnya malah berlaku seperti orang asing yang jahat.

Perempuan yang kini masih berusia 14 tahun tersebut mengungkapkan bahwa pemerkosaan itu pertama kali dilakukan bapaknya yakni JS pada tahun 2019 silam. Berawal saat RE sedang main handphone di ruang tengah rumah mereka.

Bapaknya tiba-tiba datang menarik tangannya secara paksa ke kamar mandi dan melakukan perbuatan keji dan menjijikkan itu di sana. Dalam keadaan itu, RE tak kuat melawan karena tenaganya tidak sebanding, juga lantaran sudah dihantui oleh ketakutan. Setelah itu, JS kembali mencoba melakukan pemerkosaan selama 2 kali namun selalu gagal.

LBH Medan mendampingi RE Korban Kekerasan Seksual

Akibat kejadian itu RE kabur dari rumah dan menumpang ke rumah temannya. Pada awalnya RE tidak berani menceritakan kejadian itu kepada Mamanya. Namun, pada akhirnya kasus itu terbongkar. Mirisnya Mama, RE dan adik-adiknya malah diusir dari kampungnya di daerah Patumbak karena dianggap merupakan aib. Parahnya ada masyarakat yang sanggup menuduh bahwa perbuatan itu terjadi karena RE yang menggoda bapaknya.

Selama ini JS berprofesi sebagai penjual ikan dan tuak. Mereka menganggap JS sebagai orang baik karena kerap membagi-bagikan tambul atau makanan selingan tuak untuk para pembeli tuak di kedainya. Disinyalir JS berhasil melarikan diri karena dibantu oleh masyarakat. Akibat kejadian ini sekolah RE terganggu padahal dia merupakan salah satu siswa yang berprestasi dan meraih peringkat 2 di kelasnya.

 

Ilustrator : Rimma Itasari NababanIlustrator : Rimma Itasari Nababan

Ketimpangan Relasi Kuasa

Kasus yang menimpa RE menambah deretan kasus yang membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Pelakunya bahkan bisa orang yang paling dekat dengan korban termasuk keluarga dan orangtua kandung. Kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini juga bisa terjadi di rumah korban sekalipun.

Ini juga membuktikan bahwa semakin hari, ruang aman khususnya untuk anak dan perempuan semakin tergerus. Para pelaku umumnya berusia lebih tua sementara korban masih banyak yang berada di bawah umur bahkan terdapat banyak kasus dimana korbannya masih balita. Usia yang tua tidak menjamin seseorang memiliki pola pikir yang dewasa dan bijak. Para orang tua yang seharusnya menjadi tameng pelindung justru menjadi api yang membakar anak-anaknya.

Sebagai seorang anak, RE merupakan pihak yang lebih rendah dan lemah baik dalam posisi kuasa dan kekuatan fisik, tidak seimbang dan sulit untuk melakukan perlawanan baik saat peristiwa pemerkosaan itu terjadi maupun setelahnya. Parahnya saat kasus ini merebak luas dan diketahui oleh masyarakat para warga sekitarnya justru mempersalahkan RE, menuduh dengan mengatakan bahwa mungkin RE-lah yang awalnya menggoda bapaknya.

Bapak RE dinilai sebagai orang baik oleh masyarakat karena sering membagikan tambul tuak kepada orang yang datang ke kedainya. Akibatnya masyarakat menempatkan RE sebagai orang yang bersalah sehingga mengusirnya dari rumah dan kampungnya dengan alasan telah membawa aib bagi kampung. Sehingga dalam kondisi ini terjadi playing victim, RE menjadi korban untuk kedua kalinya.

Tidak hanya menanggung penderitaan dan kekerasan secara fisik maupun psikis dari bapaknya namun juga cacian dan bahkan pengusiran dari warga kampungnya. Sementara bapaknya dibiarkan bebas dan seolah mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari masyarakat. Hal inilah yang kerap menjadi awal konflik bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual terus terjadi. Penanganan yang berperspekif korban masih sangat minim.

Belakangan ini publik juga dibuat semakin gerah dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang kian ramai diberitakan. Meskipun pada akhirnya banyak korban yang berani untuk bersuara, melaporkan dan menjadi penyintas, namun sebenarnya lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan.

Fenomena ini seringkali disebut dengan istilah “gunung es” oleh banyak pihak khususnya lembaga-lembaga yang concern pada isu perempuan dan anak. Kasus-kasus yang dilaporkan dan viral hanya merupakan yang terlihat di puncaknya saja. Sementara di dasarnya lebih banyak lagi yang mengendap, didiamkan baik karena ketidakberanian korban untuk bersuara dan penyebab lainnya termasuk susahnya upaya dan penegakan hukum.

Selain itu, para pelaku pada umumnya merupakan orang dewasa yang punya kuasa menjadi salah satu hambatan besar bagi korban untuk memperoleh keadilan. Misalnya dalam kasus pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari yang dilakukan seorang pejabat polisi bernama Kompol dr. M, Sp.F, yang bertugas di Dokes Polda Sulawesi Barat sekaligus jadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Kendari.

Atau dalam kasus pemerkosaan dan pencabulan terhadap para santriwati saat para korban mengikuti rekruitmen petugas klinik kesehatan di RSTMC. Pelakunya ialah MSAT yang merupakan pemilik Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC) sekaligus putra pemilik Pondok Pesantren Shidiqiyah Jombang. Terdapat penyalahgunaan status dan kewenangan pelaku sebagai seorang pemuka agama yang memandang dirinya berada lebih tinggi dari orang lain, sementara para santrinya harus tunduk.

Lalu pada akhirnya kepatuhan para santrinya menjadi kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik tidak melakukan penahanan. Kasus ini sempat tidak mendapatkan penanganan serius dan terjadi bolak-balik perkara antara penyidik dan penuntut umum hingga Komnas Perempuan mengirimkan surat rekomendasi yang mendesak Polda Jatim dan Polres Jombang agar segera melakukan penahanan terhadap MSAT.

Dalam banyak kasus lainnya terlihat jelas bahwa kedudukan korban lebih lemah dibanding pelaku baik dari segi usia, tenaga atau kondisi fisik, jenis kelamin, status dan kedudukan sosial. Hal inilah yang disebut dengan relasi kuasa yang timpang. Apalagi jika pelaku merupakan pejabat atau memiliki kekuasaan yang bisa mengancam korban dan mengintervensi penanganan hukumnya. Sehingga tak heran, banyak korban yang akhirnya tidak berani dan tidak kuat untuk melawan dan melaporkan. Jika pun pada akhirnya kasusnya dibawa ke ranah hukum, para korban malah kerap mengalami kriminalisasi dan diskriminasi. Selain itu penegakan hukum terhadap korban masih belum memperhatikan pemulihan terhadap korban (victim oriented)

Parahnya, korban kekerasan seksual kerapkali harus menerima victim blaming dari masyarakat. Dipersalahkan, dicaci, dianggap aib, diusir seperti kasus RE dan dipermalukan dengan berbagai alasan. Misalnya, korban mengalami pemerkosaan namun malah dipersalahkan oleh masyarakat yang menganggap pemerkosaan itu terjadi karena si korban mengumbar aurat karena mengenakan pakaian terbuka. Sementara itu ada banyak kasus dimana korban yang mengalami perkosaan juga padahal mengenakan pakaian yang tertutup dan longgar.

Dalam beberapa kasus yang ditangani oleh LBH Medan, ada beberapa korban yang malah dituduh menggoda pelaku. Padahal para korban masih berusia anak-anak yang notabenenya belum memiliki nafsu seksual dibanding para pelakunya yang sudah dewasa bahkan memasuki usia lansia. Fakta ini menunjukkan bahwa beragam jenis kejahatan seksual terjadi karena ulah dan niat jahat dari pelaku itu sendiri.

Masyarakat lupa bahwa luka yang dialami korban bukan hanya luka fisik namun luka psikis yang belum tentu bisa disembuhkan. Sementara itu pelaku terkadang bebas berseliweran atau malah mendapat pembelaan. Hal ini berdampak pada impunitas terhadap pejabat, tokoh agama, tokoh publik ataupun pelaku lainnya sementara korban kekerasan seksual tidak kunjung mendapat pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihannya.

Edukasi yang Tak Kunjung Berhenti

Beberapa pelaku kekerasan seksual yang berhasil dijebloskan ke balik jeruji besi selalu diharapkan menjadi contoh edukasi agar kasus serupa tak berulang lagi. Dijadikan cermin yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Namun edukasi yang dimaksud hanya sebatas isapan jempol belaka. Faktanya kasus kekerasan seksual tetap tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020, sepanjang 2020 Komnas Perempuan menerima 955 kasus kekerasan seksual. Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Kependudukan (United Nations Fund for Population Activities/UNFPA)  bahwa terdapat 1 dari 3 perempuan Indonesia berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.

Tentu perlu gerak langkah dan upaya-upaya nyata yang harus dilakukan baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara. Pendidikan seksual sejak dini harus dilakukan baik di lingkungan keluarga maupun pendidikan. Mengembalikan marwah dan fungsi pranata keagamaan yang tercoreng oleh perilaku maksiat para pemukanya.

Selama ini banyak pelaku yang bebas dari jeratan hukum karena undang-undang belum mengatur jenis kekerasan seksual yang dilakukannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan. Sementara dalam praktiknya terdapat banyak jenis kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Selain itu penegakan hukum selama ini hanya berfokus pada pelaku sehingga tidak memperhatikan kondisi maupun pemulihan korban baik fisik maupun psikis seperti pendampingan psikologis. Hal inilah yang diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun RUU yang telah diinisiasi sejak tahun 2012 ini tak kunjung mendapat pengesahan dan diuber-uber dari tahun ke tahun. Keluar masuk Program Legislasi Nasional dan sempat dicabut dengan alasan pembahasannya sulit. Hal ini mengindikiasikan kurangnya keseriusan pemertintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghentikan kekerasan seksual di tengah maraknya berbagai kasus di seluruh penjuru negeri.

Sehingga untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual, RUU PKS memiliki urgensi untuk segera disahkan. Selain cakupannya lebih luas, RUU PKS memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian selama proses hukum. Selama ini keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan dari pelaku atau pihak lain yang hendak membungkam mereka. Di samping itu, RUU PKS tidak hanya melindungi para korban pelecehan seksual, namun juga memberikan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual yang bertujuan untuk mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.

 

Penulis : Rimma Itasari Nababan, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://medan.tribunnews.com/2022/01/10/demi-puaskan-nafsu-penjual-tuak-tega-rudapaksa-anak-kandung-di-kamar-mandi-ini-kata-kuasa-hukum

 

PHK Sepihak Maskinah

PHK Sepihak, Maskinah Berjuang Mendapatkan Hak

PHK Sepihak

LBH Medan, Artikel – Agenda mediasi atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Maskinah oleh PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi (PT. ELMOKA) hanya dihadiri oleh Maskinah dan kuasa hukumnya karena PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi dan/atau kuasa hukumnya kembali mangkir dari surat panggilan. Awalnya mediasi dijadwalkan pada hari Rabu, 19 Januari 2022 pukul 09.00 WIB di Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan dengan mediator Jones Parapat. Maskinah selaku pemohon datang dengan didampingi kuasa hukumnya. Namun sayangnya panggilan mediasi kedua ini juga kembali tidak dihadiri oleh PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi dan/atau kuasa hukumnya. Agenda mediasi dalam tripartit ini merupakan panggilan kedua. Setelah sebelumnya upaya bipartite juga gagal karena pihak PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi tidak hadir.

Perselisihan hubungan industrial ini bermula saat Maskinah di PHK sepihak oleh perusahaan. Maskinah merupakan karyawan yang bekerja sebagai office girl dan penjaga toko di PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi yang beralamat Jl. Gaharu Komplek Jati Junction No. G 10 s/d G 11. Maskinah mulai bekerja sejak tanggal 17 Juni 2019 dengan gaji sebesar Rp1.500.000,00. Kemudian pada tahun 2020 sampai dengan 2021 mendapatkan gaji sebesar Rp1.600.000,00. Selama bekerja dari tahun 2019 hingga, Maskinah tidak mendapatkan cuti tahunan.

Pada tanggal 28 November 2021, Human Resource Development (HRD) PT. ELMOKA yang bernama Vivi Maria Hutapea menelepon Maskinah dan mengatakan bahwa Maskinah tidak perlu masuk kerja lagi dengan alasan pekerjaan Maskinah kurang baik berdasarkan pengaduan Silvia Aminyanco anak pemilik PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi yang menyebutkan bahwa pekerjaan Maskinah dalam membersihkan kamar mandi kurang bersih dikarenakan masih ada rambut di kamar mandi.

Namun keesokan harinya yakni pada tanggal 29 November 2021, Maskinah tetap bekerja seperti biasa karena merasa tidak melakukan kesalahan. Dia kembali menanyakan secara langsung kepada HRD perihal pemecatan lisannya. Namun HRD menjawab, “ itulah pokoknya yang aku ceritai kayak tadi malam.” Vivi juga menolak saat Maskinah mencoba untuk meminta nomor Handphone anak pemilik perusahan untuk menanyakan terkait pemberhentian sepihak yang dihadapinya.

Maskinah merasa bahwa pemecatan dirinya tidak adil karena sebelumnya dia tidak pernah mendapatkan Surat Peringatan (SP) baik pertama,kedua maupun ketiga. Maskinah juga merasa adanya keganjilan karena pada tanggal 29 November 202, sudah langsung ada office girl baru yang menggantikannya. Selain itu BPJS Ketenagakerjaannya ditahan dan tidak mendapatkan pesangon.

 

Penulis : Rimma Itasari Nababan, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/perjuangan-mantan-kontributor-tvri-stasiun-sumut-dikabulkan-mahkamah-agung-r-i/

 https://medan.tribunnews.com/2022/01/12/berita-foto-4-tahun-perjuangan-devis-abuimau-karmoy-akhirnya-dikabulkan-mahkamah-agung-ri