Selamat Hari Ibu. Semangat Berjuang Bagi Ibu Korban (Kekerasan Seksual) Pencari Keadilan

 Rilis Pers

Nomor : 363/LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 22 Desember 2022). Berdasarkan data atas pengaduan dan korban dampingan LBH Medan terkait isu kekerasan seksual hingga bulan Desember 2022 ini berjumlah 7 (Tujuh) kasus, dimana semua korban kekerasan seksual tersebut merupakan anak di bawah umur. Mirisnya dari ke-7 (Tujuh) kasus tersebut dominannya para pelaku bukanlah orang asing, melainkan orang-orang terdekat dari para Korban, baik itu jiran (tetangga), pacar, bahkan ayah kandung dari korban sendiri.

Mengenai pola kejahatan seksual yang dilakukan oleh para pelaku dengan cara kekerasan, pengancaman dengan menyebarkan foto dan video korbannya, dan ada yang mendekati korban dengan mengikuti aktivitas para korban dengan ikut bermain bersama mereka, memberikan uang jajan dan hadiah (barang dan mainan). Selain mengalami kerugian secara fisik para korban juga mengalami trauma psikis, bahkan seorang anak inisial RES (15 tahun) yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, bukan malah mendapatkan simpati justru diusir oleh warga sekitar.

Ironinya lagi, derita yang dialami oleh para korban tak hanya sebagaimana diatas, namun dalam proses penegakan hukum juga mereka sulit untuk mengakses keadilan. Adapun 7 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang didampingi oleh LBH Medan sepanjang tahun 2022 berdasarkan wilayah hukum Kepolisian sebagai berikut :

  1. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2615 / XII / 2021 / SPKT Polrestabes Medan / Polda Sumut tertanggal 05 Desember 2021 di Polrestabes Medan;
  2. Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat;
  3. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 1545 / V / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 16 Mei 2022 di Polrestabes Medan;
  4. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan;
  5. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 2230 / VII / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 12 Juli 2022 di Polrestabes Medan;
  6. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2954 / IX / YAN.2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMUT tertanggal tertanggal 19 September 2022 di Polrestabes Medan;
  7. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 3382 / XI / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 02 November 2022 di Polrestabes Medan.

Berdasarkan ke-7 kasus tersebut pihak Kepolisian dalam penangan perkara terhadap para korban terkesan tidak professional karena berlarut-larut (undue delay), bahkan memaksakan untuk melakukan restorative justice, dan diduga adanya upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa agar kasus tersebut tidak terungkap. Sebagai refleksi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh IPS (10 tahun), dimana kasus ini terungkap berawal dari tertangkapnya pelaku inisial HB alias Opa (±70 tahun) oleh warga saat sedang mencabuli 2 (dua) anak dibawah umur inisial Sw dan K (masing-masing berusia 10 tahun) di toilet masjid khusus perempuan.

Atas kejadian itu terungkap bahwa ternyata ada anak dibawah umur lainnya yang sebelumnya juga telah menjadi korban dari HB alias Opa yaitu Sk, B, Sy, (berusia 10 tahun) dan IPS sendiri yang mana atas pengakuan IPS itu, Ibu Kandungnya inisial SR (38 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan.

Namun anehnya atas kekerasan seksual sebelumnya yang dialami oleh Sw dan K diduga pihak Polrestabes Medan memaksakan restorative justice dan terjadilah perdamaian antara pelaku dengan pihak keluarga Sw dengan membayarkan kerugian diduga sebesar Rp.1.500.000.,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), maka hal itulah yang diduga membuat pihak Kepolisian terkesan mengulur-ulur waktu (undue delay) dan ada upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa yang dialami oleh IPS dan anak lainnya, sehingga menyebabkan laporan dari Ibu Kandung IPS tersebut mandek pada tahap penyelidikan di Polrestabes Medan.

Selanjutnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh inisial NF (17 tahun) oleh pelaku yang merupakan pacarnya inisial RFA (26 tahun), yang kemudian Ibu Kandung dari NF inisial F (60 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat.

Pasca laporan tersebut pihak Polres Langkat yang sudah menetapkan pelaku sebagai Tersangka melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat, namun Kejari Langkat mengembalikan berkas tersebut dengan beralasan pelaku mengalami penyakit “bipolar”. Saat dikonfirmasi melalui Kasipidum Kejari Langkat dengan arogan mengatakan “tidak akan memproses perkaranya sebelum ada Dokter/Ahli yang menyatakan Tersangka telah sembuh dari penyakit bipolarnya, dan siap untuk disurati/dilaporkan mengenai kinerjanya”.

LBH Medan berpandangan bahwa pola penangan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pihak Kepolisian yang terkesan berlarut-larut (undue delay) sangat mencederai rasa keadilan korban dan keluarga, serta semangat Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kemudian mengenai memaksakan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual juga dinilai sangat keliru dikarenakan kekerasan seksual merupakan tindak pidana/kejahatan berat maka tidak memenuhi syarat materil terkait prinsip pembatas terhadap pelaku tindak pidana yang relative berat untuk dilakukan restorative justice sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a angka 4 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kemudian bertentangan juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Kejaksaan R.I No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Oleh karena itu LBH Medan meminta kepada pihak Polrestabes Medan, Polres Langkat dan Kejari Langkat agar segera menindaklanjuti secara professional, proporsional, dan prosedural dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan memperbaiki pola penanganan perkara agar memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap para korban guna meminimalisir kejahatan seksual yang berpotensi akan terjadi kedepannya.

Demikian rilis pers ini dibuat. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Contact Person            :

Maswan Tambak        : 0895 1781 5588 (wa)

Khairiyah Ramadhani : 0823 6186 3626 (wa)

Tommy Sinambela      : 0823 8527 8480 (wa)  

 

Data DPO Tak Kunjung Diberikan, Ada Apa Polda Sumut?

Data DPO Tak Kunjung Diberikan Polda Sumut

DATA DPO (DAFTAR PENCARIAN ORANG) TIDAK KUNJUNG DIBERIKAN POLDA SUMUT, LBH MEDAN AJUKAN PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK KE KOMISI INFORMASI DAERAH (KIPD) SUMUT

Rabu 27 Juli 2022, LBH Medan mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik terkait tidak diberikannya data DPO (Daftar Pencarian Orang) oleh Polda Sumut dan jajaranya ke Komisi Informasi Daerah Sumatera Utara sebagaimana berdasarkan surat Nomor :178/LBH/S/VII/2022, tertanggal 26 Juli 2022.

Permohonan data DPO diajukan berawal dari dibukanya Posko Pengaduan DPO yang diduga belum ditangkap pada tanggal 01 Desember 2021 dan LBH Medan mengadakan diskusi publik dengan tema “DPO Tanggung Jawab Siapa?” pada tanggal 18 Februari 2022.

Atas adanya posko tersebut LBH Medan memiliki banyaknya data DPO yang diduga belum ditangkap di daerah hukum Sumatera Utara dalam hal ini menjadi tanggung jawab Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Adapun data DPO yang dimiliki LBH Medan terkait DPO sebanyak 62 (enam puluh dua) orang diantaranya di Polda Sumut 3 (tiga) orang, Polrestabes Medan 1 (satu) orang, Polres Batubara 25 (dua puluh lima) orang, Polres Asahan 19 (sembilan belas) orang, Polresta Deli Serdang 2 (dua) orang, Polsek Percut Sei Tuan 1 (satu) orang, Polsek Medan Timur 1 (satu) orang, Polsek Sunggal 9 (sembilan), Polsek Patumbak 1 (satu) orang.

Sebelumnya, pada hari Rabu tanggal 02 Maret 2022 Polda Sumut melalui Dirkrimum Kombes. Tatan Dirsan Atmaja, S.I.K mengundang LBH Medan dengan mengirimkan surat Nomor : B/1580/II/RES.7.5./2022 Ditreskrimum perihal Undangan Audiensi.

Adapun saat pertemuan tersebut diwakili oleh Kabag Wassidik Polda Sumatera Utara a.n AKBP. Musa Hengky Pandapotan Tampubolon, S.I.K., S.H. Kabag Wassidik sepakat untuk menindaklanjuti permasalahan DPO dengan memberikan data DPO di daerah hukum Polda Sumatera Utara beserta jajarannya yang akan dipergunakan sebagai bahan penelitian dan mendorong terbentuknya regulasi yang tegas dan efektif menyelesaikan persoalan DPO serta mendorong para DPO segara ditangkap.

Agar kedepannya tidak lagi terjadi DPO yang bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tidak ditangkap/ Belum tertangkap (Harun Masiku, Edy Tansil, Djoko chandra Maria Pauline dll). Namun, data yang diminta tidak kunjung diberikan padahal data tersebut merupakan informasi publik yang harus diberikan.

Bahwa perlu diketahui sebelum permohonan Penyelesaian Sengketa Informsi Publik ini diajukan, LBH Medan secara resmi telah mengirimkan surat kepada Kapolda Sumut dan jajaranya pada tanggal 08 April 2022 dengan nomor surat : 91/LBH/S/IV/2022, perihal Mohon Data Daftar Pencarian Orang, namun surat tersebut tidak mendapatkan balasan atau tanggapan apapun.

Kemudian untuk menghindari prespektif negatif masyarakat, LBH Medan kembali mengirimkan surat pada tanggal 23 Juni 2022 dengan nomor surat : 148/LBH/S/VI/2022 perihal Keberatan dan Mohon Data Daftar Pencarian Orang, namun kembali lagi tidak mendapatkan balasan ataupun menginformasikan mengapa tidak dibalas.

Oleh karena itu, melalui Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi tersebut, LBH Medan meminta Komisi Informasi Daerah Sumut untuk segera menindaklanjuti permohonan a quo seraya melaksanakan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik secara berkeadilan.

LBH Medan menduga tindakan Polda Sumatera Utara tidak memberikan data DPO, yang sejatinya merupakan data Publik telah melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 5 UU 39 Tahun 1999, Pasal 17 Jo 21 KUHP, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Jo Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Standar Layanan Informasi Publik Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 7 Perkap Nomor : 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H. (0821-6373-6197)
ALMA A’ DI, S.H. (0812-6580-6978)

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/poldasu-dan-jajaran-kesulitan-menangkap-dpo/
https://medan.inews.id/read/132910/tak-berikan-data-dpo-lbh-medan-adukan-polda-sumut-ke-komisi-informasi

7 Tahun Pembiaran Kasus Penembakan Terhadap Hariadi Oleh Polda Sumut & Polsek Medan Baru

7 Tahun Pembiaran Kasus Penembakan Hariadi

7 Tahun Pembiaran Kasus Penembakan Terhadap Hariadi Oleh Polda Sumut & Polsek Medan Baru

7 tahun pembiaran penembakan terhadap Hariadi oleh Polda Sumut & Polsek Medan Baru

Pada tanggal 22 November 2015 sekira pukul 19.00 WIB, Hariadi yang berprofesi sebagai penarik becak mesin hendak mengambil penumpang di Jl. Iskandar Muda, Simpang Syailendra, Kota Medan.

Saat Hariadi menyalip sebuah mobil sedan berwarna hitam, kemudian OTK yang mengendarai mobil tersebut dengan ciri-ciri badan kekar dan rambut cepak memanggilnya dengan nada keras.

Lalu Hariadi turun dari becaknya dan mendekati OTK tersebut hingga terjadilah percekcokan diantara mereka hingga OTK tersebut menembak Hariadi dengan senjata api tepat di lengan kiri yang menembus dada Hariadi, dan OTK tersebut langsung melarikan diri.

Warga sekitar yang melihat peristiwa itu langsung menolong Hariadi untuk membawanya ke RS Bhayangkara Medan. Setelah mendapatkan pertolongan pertama dari RS Bhayangkara, kemudian RS Bhayangkara merujuknya ke RS Adam Malik dengan menggunakan BPJS agar mendapatkan perawatan yang lebih intensif.

Atas peristiwa itu Dewi Hartati selaku Kakak kandung Hariadi membuat Laporan Polisi ke Polsek Medan Baru, hingga kemudian Polsek Medan Baru mengonfirmasi kepada Dewi Hartati kalau mereka telah menyita barang bukti berupa mobil sedan Mitsubishi Eterna dengan nomor plat BK 74 CK dan nomor rangka E 33 GT-001523 yang diduga milik Pelaku.

Namun setelah menyita barang bukti tersebut tidak ada kejelasan lanjut terkait perkembangan kasus Hariadi oleh Polsek Medan Baru, padahal sudah berulang kali Dewi Hartati menanyakan tindaklanjut atas kasus tersebut.

Pada bulan Maret 2016 Polsek Medan Baru meminta informasi terkait kepemilikan mobil sedan Mitsubishi Eterna dengan nomor plat BK 74 CK dan nomor rangka E 33 GT-001523 kepada Dirlantas Polda Sumut.

Kemudian pada tanggal 25 April 2016, LBH Medan membuat Surat Mohon Atensi atas kasus Hariadi tersebut ke Kapolsek Medan Baru, lalu pihak Polsek Medan Baru mengonfirmasi bahwa telah mengetahui identitas pemilik mobil tersebut a.n T & MS, dan menyatakan ada hambatan dalam proses penyidikan karena pemilik mobil tersebut tidak berhadir.

Pada tanggal 31 Mei 2016 Polsek Medan Baru mengonfirmasi bahwa hasil data record dari Dirlantas Polda Sumut, mobil dengan nomor rangka E 33 GT-001523 terdaftar a.n MS namun bukan jenis sedan eterna melainkan jenis kendaraan lain dan telah memanggil pemiliknya namun tidak berhadir.

Atas konfirmasi tersebut LBH Medan langsung berkordinasi kepada Penyidik Polsek Medan Baru dan Penyidik tersebut menerangkan mobil dengan nomor plat BK 74 CK dengan nomor rangka E 33 GT-001523 tidak sesuai dengan data karena yang terdata dengan nomor rangka E 33 GT-001523 adalah nomor plat BK 1021 UJ.

Pada tanggal 28 Juli 2016 LBH Medan menyampai surat permohonan bantuan operasi pengangkatan peluru yang ada di dada Hariadi kepada Presiden R.I, Menkopulhukam R.I, Menkumham R.I, Menkes R.I, Mensos R.I, Kapolri, Komnas HAM R.I, LPSK R.I, Kapolda Sumut, Kadis Kes Sumut, & Kadis Sos Sumut. 

Kemudian pada tanggal 03 Oktober 2016, Menkumham R.I merespon surat permohonan LBH Medan tersebut dengan mengirimkan surat kepada Kadis Kes Sumut, Dirut BPJS Kesehatan R.I, & Kapolsek Medan Baru yang menerangkan permasalahan yang dialami oleh Hariadi dapat diselesaikan sehingga penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia tidak terabaikan sebagaimana amanat konstitusi UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

LBH Medan berulang kali berkordinasi kepada Polsek Medan Baru untuk dapat mengungkap peristiwa penembakan Hariadi namun tidak tergambar upaya yang pasti  hingga pada akhirnya pada tanggal 01 Desember 2016 LBH Medan mengadukan Polsek Medan Baru ke Kapolda Sumut, Irwasda Polda Sumut, Kabag Wassidik Dirkrimum Polda Sumut, dan Kabid Propam Polda Sumut atas dugaan undue delay atau penanganan kasus yang berlarut-larut.

Pada tanggal 07 Desember 2016 BPJS Kesehatan R.I merespon surat permohonan operasi untuk Hariadi yang menyatakan “kasus yang dialami oleh Hariadi bukan merupakan kasus gawat darurat, sehingga BPJS Kesehatan tidak dapat menjamin pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan”.

Pada tanggal 18 April 2017 LBH Medan terus mendesak Polsek Medan Baru dengan meminta penjelasan tindaklanjut atas penanganan kasus Hariadi, namun pihak Polsek Medan Baru tidak menanggapinya. 

Pasca 3 tahun tanpa kejelasan, pada tanggal 25 September 2020 Polsek Medan Baru menyatakan hambatan dalam proses penyidikan terkait laporan kasus Hariadi tersebut yaitu karena belum tertangkapnya tersangka yang melakukan penembakan terhadap Hariadi.

Kemudian pada tanggal 03 Agustus 2021 LBH Medan meminta kepada Kapolda Sumut & Dirkrimum Polda Sumut untuk pengambil-alihan penanganan kasus Hariadi tersebut, namun setahun pasca surat tersebut tidak ada tanggapan.

Hingga pada tanggal 16 Juni 2022 LBH Medan menanyakan terkait pengambil-alihan penangan kasus tersebut namun pihak Polda Sumut menyatakan masih terkendala karena mereka melakukan pergantian Kanit.

Atas pernyataan itu pada tanggal 17 Juni 2022 LBH Medan menyampaikan surat mohon tindaklanjut dan atensi kepada Kapolda Sumut & Dirkrimum Polda Sumut dengan harapan pihak terkait benar-benar serius dalam menjalankan penanganan kasus penembakan Hariadi karena sudah hampir 7 tahun tanpa kejelasan, namun hingga saat ini Pelaku juga tidak ditemukan dan penanganan kasus juga tidak diambil alih oleh Polda Sumut.

Baca juga => https://lbhmedan.org/7-tahun-peluru-bersarang-di-badan-hariadi-polda-sumut-melakukan-pembiaran/

http://redaksi.waspada.co.id/v2021/2015/11/pengemudi-betor-korban-penembakan-opname-di-icu-rs-bhayangkara/

Hariadi Korban Penembakan

7 Tahun Peluru Bersarang di Badan Hariadi

Hariadi Korban Penembakan

Pada tanggal 22 november 2015 sekira pukul 19.00 wib, Hariadi yang berprofesi sebagai penarik becak mesin, hendak mengambil penumpang di Jl. Iskandar Muda, Simpang Syailendra Kota Medan. Saat di jalan, Hariadi menyalip sebuah mobil sedan berwarna hitam.

Kemudian orang di dalam mobil tersebut dengan ciri-ciri badan kekar dan rambut cepak, memanggilnya dengan nada keras.

Saat Hariadi mendekat sempat terjadi adu mulut diantara mereka hingga secara tiba-tiba pria itu menembaknya dengan sebuah senjata api tepat di lengan kiri sampai menembus dadanya.

Pria tersebut pun langsung melarikan diri. Kemudian warga sekitar yang melihat peristiwa penembakan itu langsung menolong Hariadi untuk dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan.

Setelah dirawat di RS Bhayangkara, tenaga medis RS Bhayangkara tidak sanggup melakukan tindakan operasi terhadap luka Hariadi.

Dengan keadaan seperti itu RS Bhayangkara merujuknya ke RS Adam Malik dengan menggunakan BPJS untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.

Kemudian pihak RS Adam Malik melakukan pemeriksaan luka/ronsen dan hasilnya terlihat tulang lengan sebelah kiri hancur dan terdapat bayangan oval seperti peluru tajam di sela-sela tulang rusuk.

Atas peristiwa penembakan tersebut, Dewi Hartati selaku kakak kandung Hariadi membuat Laporan Polisi ke Polsek Medan Baru.

Namun diduga Penyidik Polsek Medan Baru tidak profesional dan tidak transparan, karena hingga saat ini tidak ada tindak lanjut terhadap kasus tersebut.

Karena tidak adanya tindak lanjut tersebut, Hariadi meminta kepada Polda Sumut untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut.

7 tahun peristiwa penembakan itu berlalu, namun peluru itu masih bersarang di dadanya karena menurut keterangan dokter saat itu ada resiko kematian jika operasi dilakukan.

Selain resiko kematian, ketidak profesionalan dan tidak adanya iktikad baik Polsek Medan Baru dan Polda Sumut lah yang menjadi kendala utama bagi Hariadi dalam memperoleh keadilan.

Padahal Polsek Medan Baru telah menyita mobil yang diduga milik pelaku, namun anehnya Penyidik Polsek Medan baru hingga saat ini tidak bisa menghadirkan pemilik mobil tersebut.

Baca juga => http://redaksi.waspada.co.id/v2021/2015/11/pengemudi-betor-korban-penembakan-opname-di-icu-rs-bhayangkara/

https://lbhmedan.org/7-tahun-pembiaran-kasus-penembakan-hariadi-oleh-polda-sumut-polsek-medan-baru/

JPU Kejari Medan Hanya Tuntut 7 Tahun Terdakwa Pencabulan

JPU Kejari Medan

LBH Medan, Press Release – Terdakwa Pencabulan Dituntut 7 Tahun Penjara, LBH Medan Laporkan Kajari, Kasipidum & JPU Kejari Medan Ke Kejaksaan Agung RI.

Sidang tindak pidana Pencabulan dengan Terdakwa a.n AGH salah seorang Mahasiswa dari salah satu Universitas yang ada di Medan terhadap korban anak laki-laki a.n F, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Jo Pasal 76 E UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pada tanggal 14 Juni 2022 dimana sidang lanjutan tindak pidana tersebut dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Medan. JPU Kejari Medan a.n RY menuntut Terdakwa dengan 7 (Tujuh) Tahun Penjara.

Kasus dengan modus mengajak korban bermain game mobile legend, dimana terdakwa melalui permainan tersebut mengajak korban bermain bersama di kosnya yang beralamat di jalan Abdul Hakim Kec. Medan Baru. Kemudian korban yang diketauhi hobi bermain game on line mobil legend tanpa berpikir panjang datang ke kost Terdakwa dan seketika itu Terdakwa langsung melakukan aksinya mencabuli (Sodomi) korban.

Atas kejadian tersebut keluarga (Ibu) korban membuat laporan polisi di Polrestabes Medan dan seketika membawa Terdakwa untuk diserahkan kepada Kepolisian.Terkait laporan tesebut korban telah mengahadirkan Saksi-saksi dan bukti dugaan tindak pidana a quo di Pengadilan Negeri Medan.

LBH Medan sebagai Lembaga Bantuan Hukum yang konsern terhadap Penegakan Hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) menduga tindakan Kajari, Kasipidum melalui JPU a.n RY yang menuntut Terdakwa sangat rendah telah bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan Surat Edaran: No. SE-001/J-A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana serta tidak menjalankan program pemerintah yang mana notabenenya tahun 2016 secara tegas Presiden Jokowi telah menetapkan kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). oleh karenanya penangananya haruslah luar biasa, dalam hal ini menghukum berat pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

LBH Medan menduga adanya kejanggalan yang nyata dalam tuntutan JPU a.n RY, hal tersebut dapat dilihat jelas ketika tuntutan JPU berbanding terbalik dengan tuntutan JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang bersidang di Pengadilan Negeri Medan tahun 2021 perkara pencabulan yang dilakukan oleh oknum Kepsek atau Pendeta kepada siswanya menuntut Terdakwa dengan tuntutan selama 15 (Lima belas) tahun penjara.

Tidak hanya itu, sebagai pembanding lainya masih ditahun yang sama Jaksa Penuntut Umum Labuhan Deli telah menuntut terdakwa dalam tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh seorang kakek terhadap seorang anak perempuan yang berusia 4 tahun dituntut 12 (dua belas tahun) penjara serta diketahui Jaksa Meliani Marpaung, SH pada perkara Nomor: 19/Pid.Sus/2022 menuntut 13 (Tiga Belas) tahun penjara terhadap pelaku kekerasan seksual.

hal ini jelas membuat pertanyaan besar ada apa dengan Kejaksaan Negeri Medan dan apa yang menjadi pertimbangan JPU membuat disparitas tuntutan terhadap terdakwa a.n AGH selama 7 (Tujuh) tahun. Oleh karena itu tindak Kejaksaan negeri Medan telah mencederai keadilan Korban.

LBH Medan menilai tuntutan rendah JPU tersebut akan sangat berdampak terhadap keseriusan pemerintah menindak tegas pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan tidak menuntup kemungkinan tidak memberikan efek jera kepada Terdakwa serta bisa berdampak kepada masyarakat yang diduga menilai pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dihukum ringan.

Serta memberikan dampak yang sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak (korban) dan berbahaya terhadap anak-anak khususnya yang ada di Kota Medan saat ini karena tidak tegasnya aparat penegak hukum dalam kasus kekerasan seksual terhada anak. oleh karana itu LBH Medan meminta kepada Majelis Hakim perkara a quo Pengadilan Negeri Medan untuk memutuskan perkara tersebut dengan seadil-adilnya.

Bahwa sejalan dengan hal tersebut, LBH Medan menduga Kajari, Kasipidum dan JPU a.n RY pada Kejaksaan Negeri Medan telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 17, UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disebutkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pada Pasal 76C dan Surat Edaran: No. SE-001/J-A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana pada bagian ke II Perkara Tindak Pidana Khusus angka III ”.

 

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)
KHAIRIYAH RAMADHANI, S.H (0823 6186 3626)

 

Baca juga => https://telisik.id/news/kejari-medan-tuntut-terdakwa-sodomi-bocah-hanya-7-tahun-lbh-cederai-keadilan

Kekerasan Seksual Meningkat, Korban Semakin Sekarat

https://lbhmedan.org/kekerasan-seksual-meningkat-korban-semakin-sekarat/

Korupsi Adalah Budaya Kita?

Jalan anti korupsi

LBH Medan, Suara Rakyat – Hampir setiap hari selalu kita melihat dan mendengar dari pemberitaan tentang Korupsi yang dilakukan segelintir elit politik, pejabat yang duduk di sektor pemerintahan maupun swasta, bahkan tidak dipungkiri perbuatan korup hadir ditengah-tengah masyarakat kecil yang setiap harinya tanpa disadari telah dilakukan. Seperti perilaku tidak jujur, tidak disiplin dan professional dalam menjalankan tugas pekerjaan dan lain sebagainya.

Hal ini berbanding lurus ketika kita melihat kehidupan masyarakat jauh dari sejahtera akibat perbuatan korup yang menghancurkan moral dan etika sehingga menimbulkan masyarakat miskin yang tidak dapat mengenyam pendidikan, sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan terjadinya penindasan penggusuran bagi warga masyarakat tidak memiliki rumah yang layak huni sebagai tempat berlindungnya diri dan keluarga.

Di tengah kondisi yang cukup kompleks semacam ini, dibutuhkan sebuah strategi yang mumpuni untuk membangkitkan semangat dalam menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah mencoba dalam menangani persoalan ini telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan penyempurnaan regulasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan aturan baru dan telah dilakukan perubahan berulang kali.

Selain itu pemerintah juga melakukan penguatan kelembagaan salah satunya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk melakukan pencegahan, pemberantasan serta penindakan perbuatan korup yang diharapkan semaksimal mungkin dapat mengurangi jumlah angka kejahatan tindak pidana Korupsi.

Selain itu, bukan hanya kelembagaan KPK saja yang dilakukan penguatan, hal ini terus diupayakan untuk diadakan disetiap sektor wilayah lembaga pemerintah maupun swasta untuk menerapkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) sebagai strategi dalam menyelesaikan persoalan yang terus menjamur ini.

Namun, yang menjadi persoalannya adalah belum adanya penguatan kesadaran diri, peningkatan moralitas dan etika terhadap perbuatan korupsi belum terlalu serius dilakukan sehingga sekuat apapun strategi yang dilakukan namun tidak adanya penyadaran diri bahwa korupsi bukan hanya perbuatan yang dapat merugikan negara atau menguntungkan diri sendiri hal ini akan mengakibatkan tak jarang perilaku korupsi masih massif terjadi.

Hal lain bisa kita lihat dari buku Tarmizi Taher yang berjudul “Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi” Menurut Bung Hatta yang merupakan tokoh berintegritas dalam menjalankan kehidupan pribadinya maupun menjalankan tugas sebagai Wakil Presiden Indonesia yang saat itu sedang dipangkunya.

Ia mengatakan sebagaimana dikutip dari Masdal Hilmy, di era Orde Baru Korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya, jika era sebelumnya yang banyak melakukan korupsi adalah pemerintah tingkat pusat, tetapi di era reformasi, Korupsi hampir terjadi di semua lini (Eksekutif, Yudikatif, Legislatif baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah).

Korupsi sudah menjadi budaya massa yang membanggakan dan mengasyikkan. Otonomi daerah yang awalnya bertujuan untuk memeratakan dan memajukan penduduk, justru malah berimbas kepada meratanya tradisi korupsi di daerah-daerah.

Tanggung-jawab Warga Negara

Setiap warga Negara memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi penuh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sebuah mindset yang harus kita hilangkan adalah perbuatan korupsi tidak seharusnya kita amini sebagai perbuatan yang biasa dilakukan ditengah kehidupan masyarakat, kalau tidak melakukan Korupsi segala bentuk urusan tidak terselesaikan atau lain sebagainya.

Hal ini secara tidak langsung kita telah merawat perbuatan Korupsi untuk tumbuh subur dan berkembang. Mungkin hal dasar untuk mengubah mindset ini bisa kita mulai dengan sepenggal kalimat “Korupsi Bukan Budaya Dan Jangan Di Budidayakan”.

Sebuah perbuatan yang baik dimulai dengan pembiasaan untuk melakukan hal-hal kebaikan. Sering sekali ketika kita masih kecil diruang lingkup keluarga untuk membiasakan perilaku yang baik. Semisalnya tidur larut malam agar tidak terlambat bangun tidur bagi yang beragama Islam agar tidak terlambat bangun untuk melaksanakan Sholat Subuh. Ketika bangun tidur sesegera mungkin merapihkan tempat tidur dan lekas untuk membersihkan badan sarapan pagi bersama keluarga lalu pergi berangkat sekolah.

Hal-hal yang sesederhana ini mungkin sering dilakukan di ruang lingkup keluarga. Apabila kebiasaan ini kita fahami dan maknai lebih dalam, secara langsung telah mengajarkan kita perbuatan untuk disiplin dan professional dalam mengatur waktu. Dan ini merupakan perbuatan yang dapat mencegah perilaku kejahatan Korupsi.

Di ruang lingkup pendidikan formal juga bisa dilakukan ketika guru tidak hanya menjelaskan materi pembelajaran yang sifatnya sebagai bahan pelajaran wajib untuk diterima murid. Bisa disisipkan sebuah kisah untuk penyadaran agar tidak melakukan perbuatan Korupsi.

Misalnya ketika Ibu kita menyuruh kita membeli sembako di warung dan memberi uang kepada kita sejumlah Rp. 50.000.00,- (Berbentuk Pecahan), namun ditengah jalan ada tetangga kita sedang membutuhkan uang pecahan Rp. 50.000.00,- sehingga apa yang bisa kita lakukan?

Jawabannya adalah tidak memberikan uang pecahan Rp. 50.000.00,- kepada tetangga kita, karena Ibu kita menitipkan amanah yang harus kita pegang sampai tugas kita selesai. Terkesan rumit dan sedikit berlebihan, tapi yang sederhana ini saja kita belum tentu bisa melaksanakannya bahkan tak banyak orang setuju dengan kisah tersebut.

Apabila kisah sederhana ini bisa di aplikasikan, kemungkinan besar dan seluruh masyarakat dan pemangku jabatan di negeri ini bahkan aspek global akan menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggung-jawab.

Aspek Hukum Politik

Sangat penting rasanya apabila dilakukan penyelarasan pemahaman anti Korupsi dalam aspek hukum-politik. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Lawrence Friedman tentang sistem hukum yaitu Struktur Hukum yaitu lembaga penegakan hukum, substansi Hukum yaitu berkaitan dengan asas dan hukum serta produk peraturan perundang-undangan dan Budaya Hukum yaitu kebiasaan ataupun cara berfikir masyarakat dan aparat penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku harus dilakukan secara bijaksana, tegas dan tidak diskriminasi. Apabila sebuah sistem hukum memiliki pemahaman kesamaan visi dan misi dalam anti terhadap perbuatan kejahatan Korupsi maka perilaku Korupsi akan mudah untuk diatasi.

Kesimpulan

Sebenarnya sangat banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegahan perbuatan Korupsi, mulai dari hal yang sederhana tidak membutuhkan angka anggaran yang cukup fantastis hingga penyurusan rancangan strategi atau taktik jitu dalam menurunkan perilaku kejahatan Korupsi. Selain itu, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dilihat dari tindakan para pemimpin bangsa yang menjadi sorotan bagi masyarakat sebagai contoh tauladan untuk rakyatnya yang tidak berperilaku Koruptif.

Masalah Korupsi bukan hanya tanggung jawab dari Pemerintah, Aparat Penegak Hukum untuk menyelesaikannya, ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara yang baik harus menanamkan kepada diri sendiri dan orang lain untuk bersikap anti Korupsi dan dengan suka rela memberikan pehaman tentang Anti Korupsi secara massif kepada orang lain itu artinya kita telah melakukan aksi nyata berjuang untuk melawan Korupsi.

 

Penulis : Hidayat Chaniago, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/pelemahan-kpk-nyata-di-depan-mata/

https://redaksi.waspada.co.id/v2021/2021/09/organisasi-masyarakat-sipil-buka-kantor-darurat-pemberantasan-korupsi-di-sumut/

Harapan Pancasila Kepada Omnibus Law

harapan pancasila kepada omnibus lawLBH Medan, Suara Rakyat – Munculnya omnibus law bermula ketika Presiden Joko Widodo gamang terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia. Sampai saat ini investasi belum menunjukkan angka yang diinginkan untuk mencapai target sesuai yang diharapkan.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi pada kurtal pertama 2019 tumbuh 5,3% menjadi Rp 195, 1 triliun. Capaian ini menjadi realisasi investasi terendah dalam kurun 2014-2019. Meski tumbuh dari kuartal 2018, namun pertumbuhannya masih sangat jauh dari target yang diharapkan oleh pemerintah.

Melihat terjadinya perang dagang antara USA dan China juga tidak menyebabkan banyak investor yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia. Terkait adanya perang dagang tersebut, data menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari 50 perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana atau mempertimbangkan pemindahan manufaktur keluar dari China.

Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa Indonesia tidak menjadi pilihan menarik untuk investasi dibandingkan dengan  negara-negara di Asia? seperti Vietnam, Taiwan, dsb.

Kalau ditelaah kembali, hal ini disebabkan dikarenakan banyaknya regulasi ataupun aturan-aturan terkait dengan perizinan yang tumpang tindih dan tentu saja bermuara pada lamanya izin investasi dan memakan biaya yang tinggi sehingga sulit diprediksi.

Disharmoni peraturan perundang-undangan terkait perizinan diberbagai sektor, maka muncullah sebuah gagasan pentingnya omnibus law untuk menyelesaikan persoalan tersbut. Pemerintah harus merubah beberapa pasal-pasal terkait perizinan di bidang investasi di 72 undang-undang lewat satu undang-undang baru (omnibslaw), yang tentunya akan punya daya jangkau yang luas.

Pada saat ini, pemerintah telah merumuskan Visi Indonesia maju 2045 sebagai langkah strategis menjadikan sebagai 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045.

Terkait hal ini ada empat pilar utama Visi Indonesia 2045, salah satunya adalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, melalui peningkatan iklim investasi, perdagangan luar negeri yang terbuka dan adil, industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi kreatif dan digital, peran pariwisata Indonesia sebagai destinasi unggulan, pembangunan ekonomi maritim, pemantapan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, pemantapan ketahanan air, peningkatan ketahanan energi dan komitmen terhadap lingkungan hidup.

Kalau dilihat dari salah satu visi ini ada suatu hal yang perlu bisa digaris bawahi bahwa untuk mewujudkannya pemerintah mengharapkan adanya “gelombang investasi” guna mempercepat proses pembangunan serta masyarakat berpartisipasi dalam proses tersebut.

Akan tetapi ada permasalahan yang terjadi dilapangan yaitu tumpang-tindih dan ketidakharmonisan undang-undang sektoral yang menjadi hambatan utama dalam menciptakan iklim investasi yang ramah bagi investor.

Selain itu banyak juga kontradiksi dan disharmonisasi perundang-undangan baik secara horizontal maupun vertikal yang menyebabkan ketidakpastian hukum yang berujung kepada digagasnya transpalansi yang bernama omnibus law.

Tradisi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia haruslah merujuk kepada nilai-nilai yang termaktub didalam Pancasila yang didalamnya terdapat esensi sebagai dasar negara modus vivendi yang digali dari perenungan jiwa yang mendalam para pendiri bangsa, yang kemudian dituangkan kedalam suatu sistem yang tepat.

Pembangunan sistem hukum Pancasila sudah seharusnya mengarah kepada cita negara (staatside) Indonesia. Cita-cita negara yang sajauh ini mungkin harus dibangun kembali secara khas sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia.

Yang paling penting adalah sistem hukum Pancasila tidak indentik dengan sistem Sosialisme/Komunisme yang tidak mengakui adalah kepemilikan individu akan tetapi indentik dengan Kerakyatan.

Maka dalam  proses pembentukan undang-undang omnibus law harus memberikan efek secara filosfis maupun sosiologis bahwa suatu produk hukum yang diciptakan dalam konsep Pancasila sangat efektif dikarenakan nilai-nilai hukum yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan kenyataan yang hidup didalam masyarakat. Dan sudah saatnya seluruh elemen bangsa “bergotong royong” untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia lebih maju.

Dalam sistem hukum  di Indonesia, hukum memperoleh kekuasaan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang serta tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi. Hal inilah yang menjadi dasar yang sejalan dengan nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum.

Meski banyak sekali perbedaan pendapat dan perdebatan terkait omnibus law ini, karena ini adalah produk kesepakatan politik anatara pemerintah dan DPR tentu harus memegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara apabila ingin membentuk suatu perundang-undangan di Indonesia.

Pada satu sisi hukum diharapkan menjadi sarana untuk menciptakan ketertiban dan kemantapan tata hidup bermasyarakat. Pancasila memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum.

Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai pada sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan negara kestuan Indonesia.

Sejalan dengan hal ini, omnibus law sangat diharapkan agar selaras dengan karakteristik sistem hukum Pancasila. Mohammad Koesno mengatakan bahwa karakteristik hukum Indonesia adalah berwatak melindungi bukan hanya memerintah begitu saja.

Perlindungan dalam artian adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah. Jadi omnibus law dibentuk bukan hanya untuk kepentingan pembangunan perekonomian Indonesia yang lebih maju dan mandiri. Akan tetapi, jauh dari pada itu adalah untuk melindungi seluruh elemen bangsa ini agar bisa terciptanya hukum yang berkeadilan sesuai dengan amanah Pancasila.

Terlepas dari perdebatan secara formil dalam konsep pembentukan undang-undang omnibus law, haruslah memegang teguh kepada perlindungan berdasarkan kepada persatuan dan dalam merealisasikannya mengandung ide dan gagasan sebagai acuan untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila mengandung filosofis yang sangat mendalam bukan hanya sebagai jargon ataupun ideologi negara namun harus benar-benar meresap kedalam jantung peraturan perundang-undangan dan secara subsansi materiil omnibus law tersebut jangan sampai melenceng atau melukai nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri.

Pada akhirnya penekanan yang semestinya dilakukan dalam konsep omnibus law bukan lagi terletak pada kekakuan cara berpikir legastik formil yang sering ditujukkan oleh kaum positivisme dalam sistem hukum civil law.

Dalam menemukan nilai-nilai keadilan kita harus mampu beyond the rule dan menemukan suatu keadilan substantif. Meskipun omnibus law itu lahir dari negara-negara anglo saxon yang bercorak common law, bukanlah menjadi suatu dosa besar walaupun sistem hukum di Indonesia itu bercorak civil law.

Namun demikian, pembentukan omnibus law tersebut harus sejalan dengan nafas Pancasila dan mencerminkan sifat hukum yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang ada dimasyarakat. Yang diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang di alami dan ditemukan oleh rakyat bukan semata hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

 

Penulis : Hidayat Chaniago, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/press-release-ylbhi-dan-17-lbh-se-indonesia/

LBH MEDAN MENDAMPINGI 243 AKSI MASSA TOLAK OMNIBUS LAW

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201009093059-12-556380/243-orang-diamankan-polisi-lbh-medan-tak-diberi-akses

Kebebasan Berekspresi Bagian Dari Demokrasi

kebebasan berekspresi

Pandangan Awal Kebebasan Berekspresi

LBH Medan, Artikel – Negara demokrasi merupakan Negara yang melindungi serta menjamin hak-hak masyarakat atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal yang sering terjadi dan memicu timbulnya sebuah konflik dalam kehidupan yang berawal dari kekeliruan dalam memahami sebuah kata “memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat atau menyampaikan pendapat” karena sejatinya setiap manusia bebas untuk mengutarakan pendapat dan berekspresi di muka umum.

Banyaknya kasus yang terjadi berawal dari bentuk sebuah protes dan berujung pada tindakan kekerasan, kerusuhan bahkan tindakan pidana. Sudah saatnya kita sadar akan aturan dan tata tertib hukum yang mengatur perilaku maupun tindakan kita. Bukankah kita merupakan salah satu bagian dari dunia ini yang menerapkan pilar demokrasi.

Secara harfiah kebebasan berpendapat menurut kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata bebas/kebebasan yang memiliki arti suatu keadaan bebas atau kemerdekaan, sedangkan pendapat/berpendapat berarti ide atau gagasan seseorang tentang sesuatu, maka kebebasan berpendapat merupakan suatu kemerdekaan bagi seseorang untuk mengeluarkan ide atau gagasan yang dimilikinya dan hal tersebut merupakan hak setiap orang.

Sebuah syarat adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, merupakan persyaratan yang mutlak dan yang harus dimiliki oleh suatu negara demokrasi. Kebebasan ini harus dijamin pula di dalam Undang-undang negara yang bersangkutan. Undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat itu harus dengan tegas menyatakan adanya kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam rangka kebebasan menyampaikan pendapat tersebut, maka setiap orang berhak mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkannya, sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya.

Dibalik   itu   harus   pula   ada   ketentuan Undang-undang   yang melarang  siapapun,  termasuk pemerintah  yang  ingin  mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan tersebut. Maksudnya adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan.

Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas. Kebebasan berekspresi tidak hanya penting bagi martabat individu, tetapi juga untuk demokrasi itu sendiri.

Pendapat Tokoh

(Dokumentasi dari https://en.wikipedia.org/wiki/John_Locke)

Matinya sebuah demokrasi ditandai dengan rakyat sudah tidak boleh lagi berbicara atau mengeluarkan pendapat. Padahal sebuah Negara harus memenuhi kriteria demokrasi, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama.

John Locke mengemukakan bahwa kebebasan bereskpresi dan berpendapat adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi kita atas fakta dan nilai.

(Dokumentasi dari : https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill#/media/Berkas:John_Stuart_Mill_by_London_Stereoscopic_Company,_c1870.jpg)

Sementara John Stuart Mill mengatakan, kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Mengapa demikian? sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan dalam mengontrol dan menilai setiap warga negara seharusnya bisa mengakses semua informasi yang diperlukan tentang pemerintah yang bersifat transparansi.

Tidak hanya sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan kemudian dapat di diskusikan di forum formal maupun non formal. Berdasarkan dari teori tersebut, kebebasan bereskpresi dan berpendapat kemudian menjadi sebuah klaim untuk mengkritisi penguasa yang melarang ataupun menghambat pelaksanaan dalam kebebasan berekspresi.

(Dokumentasi dari : https://en.wikipedia.org/wiki/Frank_William_La_Rue#/media/File:Frank_La_Rue_01.jpg)

Frank La Rue mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif, yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat.

Kebebasan berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi.

Landasan Hukum

(Dokumentasi dari : https://gls.gm/)

Kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, karena kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.

Kaitan kebebasan bereskpresi dengan demokrasi yang kemudian  diakui  dalam  hukum  internasional hak  asasi  manusia yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18 dan 19 yang juga terdapat di Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  12  Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang  menyatakan bahwa   kebebasan   berekspresi   merupakan   pra-syarat bagi perwujudan   prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan  hak  asasi  manusia.

Kebebasan  bereskpresi  juga  menjadi  pintu  bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih seperti yang tertuang didalam paragraph 3-4 Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik.

Pondasi utama dalam menentukan batasan konsep dan cakupan jaminan hak atas kebebasan berekspresi dikemukakan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tahun 1948, yang menegaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.

Ketentuan tersebut selanjutnya dielaborasi dan ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, yang secara detail dan rigid merumuskannya sebagai berikut; Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan, Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya, Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.

Oleh karena itu, hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk; menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

Berdasarkan Komite Hak Asasi Manusia menekankan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan pada dasarnya adalah melindungi semua bentuk gagasan subjektif dan opini yang dapat diberikan/sebarkan kepada orang lain. Sementara dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik kebebasan berpendapat dikatakan sebagai urusan pribadi yang terkait dengan alam pemikiran yang sifatnya mutlak, tak boleh dibatasi oleh hukum atau kekuatan lainnya.

Sesungguhnya hak untuk berpendapat tumpang tindih dengan kebebasan berpikir, yang dijamin Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpikir berkontribusi dalam kebebasan beropini, dimana pendapat adalah hasil dari proses pemikiran mengenai tentang cakupan perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan, dalam Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (paragraf 9 dan 12) menyebutkan:

... Semua bentuk opini dilindungi, termasuk pendapat yang bersifat politik, ilmiah, sejarah,  moral atau  agama.  ….Pelecehan,  intimidasi  atau  stigmatisasi  seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, mengadili atau memenjarakan karena alasan pendapat mereka, merupakan pelanggaran Pasal 19 ayat (1)”.

“… melindungi semua bentuk ekspresi dan cara penyebarannya. Bentuk-bentuk tersebut termasuk lisan, tulisan dan bahasa simbol serta ekspresi non-verbal semacam gambar dan bentuk-bentuk seni. Alat ekspresi termasuk buku, surat kabar, pamflet, poster, banner, pakaian serta submisi hukum. Dalam hal ini juga termasuk semua bentuk audio visual juga ekspresi elektronik dan bentuk-bentuk internet…”.

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen juga telah secara tegas memberikan jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara, yang dapat diidentifikasi dalam beberapa pasal berikut ini Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28 E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28 F “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Selain itu kalau kita melihat dari mandat konstitusional tersebut selanjutnya diatur lebih jauh dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kebebasan  berekspresi dan menyampaikan pendapat, salah satunya melalui Pasal 1 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan bahwa, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Jaminan tersebut berlaku bagi setiap warga negara, untuk bebas menyampaikan pendapatnya baik secara lisan, tulisan, dan  sebagainya,  sebagaimana ditegaskan  Pasal 2 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan, “setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Penegasan serupa juga mengemukan di dalam Pasal 23 ayat (2)   Undang-Undang  No.  39  Tahun  1999  tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.

Harapan Besar

(Dokumentasi dari : https://plus.kapanlagi.com/60-kata-harapan-dari-para-tokoh-terkenal-yang-bijak-bisa-jadi-nasihat-mendalam-b2f524.html)

Dan pada akhirnya ruang lingkup dan batasan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat setidaknya mencakup tiga jenis ekpresi yaitu: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk menerima informasi,  kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat juga melindungi semua informasi atau ide apapun termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau pun ide/gagasan.

Jadi termasuk gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, berita atau pun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis dan lain-lain. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi baik lisan, tertulis, cetak, media seni serta mediaapa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, spanduk dan lain-lain, termasuk kebebasan untuk melintas batas negara.

Secara yuridis kebebasan berekspresi telah di jamin oleh undang-undang, karena hal ini merupakan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi oleh negara dan demi untuk kemajuan bangsa itu sendiri dan juga kebebasan berekspresi dalam demokrasi sangat diperlukan sebagai bentuk kotrol masyarakat terhadap pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Bahwa kebebasan berekspresi ditegaskan sebagai kebebasan dasar yang paling penting bagi martabat individu untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi. Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi karena demokrasi tidak berjalan tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi.

Dalam perjalanan demokrasi yang paling baik ditandai dengan adanya upaya untuk mendorng terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial, karena hal ini merupakan sebuah hak yang fundamental bagi setiap manusia yang harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar, dan apabila dilanggar maka hal tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis : Hidayat Chaniago, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

Kapolda Sumut & Kapolrestabes Medan Harus Usut Kematian Tahanan

LBH Medan Desak Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan usut tuntas tewasnya Hendra Syahputra yang diduga disiksa oleh oknum Polisi.

LBH Medan, Press Release – LBH Medan Desak Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan usut tuntas tewasnya Hendra Syahputra yang diduga disiksa oleh oknum Polisi.

Persidangan dugaan tindak pidana Penyiksaan yang dialami Hendra Syahpurta (Korban) sangat mengejutkan dan membuka tabir baru apa yang sebenarnya dialami Korban. Sidang yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Medan ruang Cakra 8 sangat mengejutkan masyarakat khususnya kota Medan.

Dalam sidang dakwaan yang dibacakan oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Medan menjelaskan adanya dugaan keterlibatan anggota kepolisian a.n L S terkait Penyiksaaan yang dialami Hendra Syahputra, sehingga mengakibatkan meninggalnya korban dengan keadaan Tengkorak Kepala Retak.

Bukan hanya disiksa, parahnya korban dipaksa Masturbasi pakai balsem serta mengalami pemerasan oleh sesama tahanan yang diduga atas perintah L S yang notabenenya merupakan penjaga RTP (Rumah Tahanan Polisi) Polrestabes Medan. Dalam dakwaan JPU a.n Pantun Marojahan Simbolon terugkap jika Hendra Syahputra dipaksa oleh tahanan bernama Rizki untuk masturbasi pakai balsem.

Menyikapi penyiksaan yang sangat keji yang dialami oleh Hendra Syahputa, LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia mendesak Kapolda Sumut & Kapolrestabes Medan untuk mengatensi dan mengusut tuntas perkara a quo, dikarenakan bukan kali ini saja adanya keterlibatan anggota Kepolisian dalam dugaan Penyiksaan terhadap Tahanan.

Masih segar diingatan kita masyarakat Sumatera Utara khususnya kota Langkat terkait Penyiksaan yang diduga dilakukan oleh Bupati Langkat, dkk juga diduga adanya keterlibatan anggota Kepolisian. Hal ini menggambarkan banyak dugaan keterlibatan anggota Kepolisian dalam praktik Penyiksaan di Sumatera Utara, sehingga hal ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kapoldasu.

LBH Medan meminta kepada Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan untuk menindak tegas terhadap oknum Kepolisian yang diduga terlibat dalam Penyiksaan Hendra Syahputra. Hal ini guna membuktikan adanya tanggung jawab hukum dan moral yang seyogyanya dilakukan Kapoldasu dan Kapolrestabes Medan. Seraya menghindari prespektif negatif masyarkat terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia.

LBH Medan menduga tindak pidana Penyiksaan tersebut telah melanggar UUD 1945 Pasal 28 A, 28 I, KUHP Pasal 351 ayat (3), UU 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4, UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Covention Againt Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment on Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H. (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/LBH-Medan-Sarankan-Penerapan–ldquo-Restorative-Justice-rdquo–Diatur-Setingkat-Undang-Undang

101 HARI HASIL EKSHUMASI BEDAH MAYAT TAHANAN POLSEK SUNGGAL

https://lbhmedan.org/101-hari-hasil-ekshumasi-bedah-mayat-namun-tidak-mengungkap-penyebab-kematian-alm-joko-dedi-kurniawan/

Pendekatan Restorative Justice Untuk Pria Yang Ancam Bobby

Restorative JusticeLBH Medan, Press Release – Pihak Kepolisian seharusnya bisa menyelesaikan dengan pendekatan Restorative Justice terhadap Pria yang ancam patahkan leher Bobby.

Diketahui Pria 27 tahun yang berinisial RP berasal dari Takengon Kabupaten Aceh pada saat itu ingin memarkirkan kendaraan roda empat (mobil), diduga belum sempat parkir atau baru berhenti, diduga tiba-tiba juru parkir langsung datang sambil memasukkan tangannya kedalam mobil, lalu juru parkir minta RP bayar uang parkir lewat E-Parking, namun RP tidak mau membayar menggunakan E-Toll dan hanya mau bayar cash karena khawatir saldo E-Tollnya terkuras.

Video yang berdurasi lebih kurang 1 (satu) menit tersebut awalnya diduga mengancam Bobby Afif Nasution (Wali Kota Medan) dan petugas parkir yang bertugas dengan menyebutkan “Kau panggil pak bobby itu kemari biar kupatahkan batang lehar pak bobby itu sekalian, mau kau. atau kau ja kupatahakan batang leherkau mau kau”.

Terkait adannya video tersebut pihak Polrestabes Medan telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap RP. Namun dalam keterangnya Kapolrestabes Medan mengatakan jika RP ditangkap dan ditahan bukan karena pengancaman terhadap Bobby. hal yang sama juga disampaikan Bobby Nasution melalui akun Instagramnya“bobbynst”.

Adapun penangkapan yang dilakukan terhadap RP karena adanya penganiayaan terhadap pertugas parkir yang mengalami luka, diduga tangannya dijepit dan terseret mobil RP.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menilai jika pihak kepolisan dalam hal ini Polrestabes Medan tidak perlu melakukan penahanan terhadap RP dan meminta perkara ini diselesaikan dengan cara keadilan Restoratif Justice yang regulasinya juga telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

LBH Medan menilai apa yang dilakukan RP terhadap petugas parkir merupakan dugaan tindak pidana penganiyaan ringan sebagai mana yang diatur dalam Pasal 352 KUHPidana yang menyatakan “ Penganiayan yang tidak membuat terhalangnya korban melakukan aktivitas (Kegiatanya sehari-hari)” hal ini dapat dilihat diduga adanya video petugas parkir yang masih bisa diwawancari pers pasca kejadian tersebut.

LBH Medan menilai dengan adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative, Maka pihak kepolisian bisa menyelesakan permasalahan a quo dengan pendekatan Keadilan Restorative Justice, Bukan melalui pendekatan Pidana.

Kerena didalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya asas Ultimum Remedium yang artinya Pemidanan Merupakan Upaya hukum terakhir. Dewasa ini, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) diketahui sedang gencar-gencarnya menerapkan Restorative Justice yang ditandai dengan lahirnya aturan yang mengatur hal tersebut yaitu MA RI berdasarkan SK Dirjen Badilum MA RI No. 1691/DJU/SKP/PS.00/12/2020, PERJA No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan di Kepolisian ditandai dengan adanya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ditambah lagi RP telah meminta maaf terkhusus kepada Petugas Parkir dan Bobby Nasution ketika konprensi pers yang saat itu ada Walikota Medan.

LBH Medan mendukung program Bobby Nasution dalam pengutipan parkir dengan cara pembayaran melalui E-Parking, namun berkaca dengan kejadiaan ini patut dilakukan evaluasi terkait teknisnya dan adanya sosialisai yang gencar terhadap masyarakat. Sebagaimana diketahui berdasarkan keterang RP, dianya mau membayar secara Cash namun karena program tersebut tidak bisa Cash maka terjadi perselisihan.

Oleh karena itu LBH Medan meminta pihak pemko Medan dapat mencari solusi jika ada kejadian seperti ini. Misalnya dapat membayarkan melalu E-parking khusus yang dimilik petugas parkir ketika pengemudi tidak memilik E-toll agar kedepanya tidak terjadi hal yang sama.

LBH Medan juga meminta kepada pihak Kepolisian dalam hal ini, Polrestabes Medan agar dalam menjalankan tugasnya menerapkan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) dalam menanggapi laporan atau pengaduan dari masyarakat, Dalam artian, bahwa polisi tidak hanya merespon cepat laporan yang ketika laporan tersebut diduga melibatkan pejabat negara, namun sebaliknya ketika simiskin responnya diduga tidak sama.

Viralnya video yang memperlihatkan seorang pria berkacamata marah-marah kepada juru parkir elektronik (e- parking) di Kota Medan, tepatnya di Jalan Rahmadsyah, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Medan Kota.

Diketahui Pria 27 tahun yang berinisial RP berasal dari Takengon Kabupaten Aceh pada saat itu ingin memarkirkan kendaraan roda empat (mobil), diduga belum sempat parkir atau baru berhenti, diduga tiba-tiba juru parkir langsung datang sambil memasukkan tangannya kedalam mobil, lalu juru parkir minta RP bayar uang parkir lewat E-Parking, namun RP tidak mau membayar menggunakan E-Toll dan hanya mau bayar cash karena khawatir saldo E-Tollnya terkuras.

Video yang berdurasi lebih kurang 1 (satu) menit tersebut awalnya diduga mengancam Bobby Afif Nasution (Wali Kota Medan) dan petugas parkir yang bertugas dengan menyebutkan “Kau panggil pak bobby itu kemari biar kupatahkan batang lehar pak bobby itu sekalian, mau kau. atau kau ja kupatahakan batang leher kau mau kau”.

Terkait adannya video tersebut pihak Polrestabes Medan telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap RP. Namun dalam keterangnya Kapolrestabes Medan mengatakan jika RP ditangkap dan ditahan bukan karena pengancaman terhadap Bobby. hal yang sama juga disampaikan Bobby Nasution melalui akun Instagramnya“bobbynst”.

Adapun penangkapan yang dilakukan terhadap RP karena adanya penganiayaan terhadap pertugas parkir yang mengalami luka, diduga tangannya dijepit dan terseret mobil RP.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menilai jika pihak kepolisan dalam hal ini Polrestabes Medan tidak perlu melakukan penahanan terhadap RP dan meminta perkara ini diselesaikan dengan cara keadilan Restoratif Justice yang regulasinya juga telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

LBH Medan menilai apa yang dilakukan RP terhadap petugas parkir merupakan dugaan tindak pidana penganiyaan ringan sebagai mana yang diatur dalam Pasal 352 KUHPidana yang menyatakan “ Penganiayan yang tidak membuat terhalangnya korban melakukan aktivitas (Kegiatanya sehari-hari)” hal ini dapat dilihat diduga adanya video petugas parkir yang masih bisa diwawancari pers pasca kejadian tersebut.

LBH Medan menilai dengan adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative, Maka pihak kepolisian bisa menyelesakan permasalahan a quo dengan pendekatan Keadilan Restorative Justice, Bukan melalui pendekatan Pidana.

Kerena didalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya asas Ultimum Remidum yang artinya Pemidanan Merupakan Upaya hukum terakhir. Dewasa ini, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) diketahui sedang gencar-gencarnya menerapkan keadilan Keadilan Restorative Justice yang ditandai lahirnya aturan yang mengatur hal tersebut yaitu MA RI berdasarkan SK Dirjen Badilum MA RI No. 1691/DJU/SKP/PS.00/12/2020, PERJA No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan di Kepolisian ditandai dengan adanya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ditambah lagi RP telah meminta maaf terkhusus kepada Petugas Parkir dan Bobby Nasution ketika konprensi pers yang saat itu ada Walikota Medan.

LBH Medan mendungkung program bobby nasution dalam pengutipan parkir dengan cara pembayaran melalui E-Parking, namun berkaca dengan kejadiaan ini patut dilakukan evaluasi terkait teknisnya dan adanya sosialisai yang gencar terhadap masyarakat. Sebagaimana diketahui berdasarkan keterang RP, dianya mau membayar secara Cash namun karena program tersebut tidak bisa Cash maka terjadi perselisihan.

Oleh karena itu LBH Medan meminta pihak pemko Medan dapat mencari solusi jika ada kejadian seperti ini. Misalnya dapat membayarkan melalu E-parking khusus yang dimilik petugas parkir ketika pengemudi tidak memilik E-toll agar kedepanya tidak terjadi hal yang sama.

LBH Medan juga meminta kepada pihak Kepolisian dalam hal ini, Polrestabes Medan agar dalam menjankan tugasnya menerapkan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) dalam menanggapi laporan atau pengaduan dari masyarakat, Dalam artian, bahwa polisi tidak hanya merespon cepat laporan yang ketika laporan tersebut diduga melibatkan pejabat negara, namun sebaliknya ketika simiskin responnya diduga tidak sama.

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H. (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/LBH-Medan-Sarankan-Penerapan–ldquo-Restorative-Justice-rdquo–Diatur-Setingkat-Undang-Undang

101 HARI HASIL EKSHUMASI BEDAH MAYAT TAHANAN POLSEK SUNGGAL

https://lbhmedan.org/101-hari-hasil-ekshumasi-bedah-mayat-namun-tidak-mengungkap-penyebab-kematian-alm-joko-dedi-kurniawan/