Akibat Viral Jalan di Cor Beton Siap Satu Malam, Kadis PU Kota Medan Buang Badan Pekerjaan

Rilis Pers

Nomor : 376 /LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 30 Desember 2022). Pasca viralnya pengerjaan proyek drainase amburadul yang dibuat oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution tepat didepan kantor LBH Medan di Jl. Hindu/Jl. Perdana, Kesawan, Kota Medan terakhir terdokumentasi pada tanggal 28 Desember 2022 satu unit Bus Pariwisata berpenumpang wisatawan dari Malaysia terperosok berjam-jam akibat belum selesainya pengerjaan galian dan pengecoran galian drainase sehingga terjadi kemacetan dan kekesalan dari para pengguna jalan.

Viralnya dampak amburadulnya pengerjaan proyek ini ternyata mendapatkan respon yang tidak diduga dilakukannya pembetonan jalan kebut 1 (satu) malam dilokasi Bus Pariwisata terperosok tepat didepan kantor LBH Medan padahal sepemantauan LBH Medan dilokasi ini sepertinya ada bahagian pekerjaan yang belum selesai dikerjakan. Namun tetap menimbulkan pertanyaan bekas galian drainase sekitar pembetonan jalan masih disepanjang Jl. Perdana belum juga memperlihatkan kemajuan yang pesat sebagaimana pesatnya pembetonan jalan dilokasi terperosoknya Bus Pariwisata dan mobil-mobil sebelumnya didepan kantor LBH Medan.

Pemantauan LBH Medan dilapangan dan informasi dari berbagai sumber terdapat beberapa lokasi proyek pengerjaan drainase Pemko Medan yang belum selesai hingga saat ini yang juga berpotensi menyebabkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas serta potensi kecelakaan bagi pejalan kaki di Jl. Raden Saleh (tak jauh dari gedung Wali Kota), Jl. Denai dan simpang Jl. Menteng Raya Kecamatan Medan Denai dan lokasi lainnya. Setali tiga uang sebagaimana yang dialami oleh masyarakat dan pedagang di Jl. Perdana/Jl. Hindu, sangat dimungkinkan masyarakat dan pelaku usaha di semua lokasi proyek ini juga mengalami dampak/akibat atau kerugian yang sama akibat terkesan lambatnya penyelesaian pengerjaan proyek drainase Pemko Medan ini.

Untuk menghindari perspektif negative masyarakat tidak seriusnya percepatan penyelesaian proyek ini dan menghindari complain dan tuntutan kerugian masyarakat ditujukan kepada Walokita Medan atas potensi dampak-dampak proyek drainase ini sudah seharusnya Walikota Medan dan Kadis PU Kota Medan segera kebut penyelesaian proyek drainase ini sebagaimana yang telah dibuktikan pada lokasi terperosoknya Bus Pariwisata dan mobil lain sebelumnya yang tepat didepan kantor LBH Medan tentunya dengan baik dan benar tanpa harus ada keluhan dan tuntutan masyarakat terlebih dahulu.

Selanjutnya menyikapi pernyataan dari Kadis PU Kota Medan Topan Obaja Ginting sebagaimana dikutip dari https://www.msn.com/id-id/berita/other/malunya-turis-malaysia-sampai-merasakan-buruknya-wajah-kota-medan-akibat-proyek-drainase/ar-AA15KQhc?li=BB12qLfT&s=09 yang menyatakan “Itu kerjaan Menteri PUPR, tanya merekalah kenapa lama proses pembangunannya, tidak semua proyek yang ada di Kota Medan dipegang oleh Dinas PUPR Kota Medan. Proyek yang ada di Kota Medan ini tidak seluruh dipegang oleh kami Dinas PU, kalau kami kerjakan, kami yang bermasalah, makanya segala bentuk pembangunan area itu tidak kami ganggu,”.

Pernyataan Kadis PU Kota Medan ini bertolak belakang dengan fakta dilapangan dengan adanya plank dilokasi proyek yang memajang foto Walikota dan Wakil Walikota Medan sehingga membutuhkan penjelasan resmi dari Walikota Medan terkait kebenaran pernyataan Kadis PU Kota Medan ini kepada publik khususnya masyarakat Kota Medan sehingga publik dapat menilai kompetensi dan tanggungjawab pengerjaan proyek drainase ini serta dapat menilai efektifitas, efisiensi dan keseriusan Walikota Medan dalam menggunakan uang masyarakat Kota Medan pada APBD Kota Medan dalam pengerjaan poyek bila benar proyek ini merupakan kewenangan dan tanggungjawabnya Walikota Medan Bobby Nasution.

Terkait sanggahan Kadis PU Kota Medan ini dan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, LBH Medan sebelumnya telah meminta informasi dan data publik secara tertulis terkait Masterplan kegiatan pelaksanaan, seluruh dokumen kebijakan, dokumen perjanjian antara Dinas PU Kota Medan dengan kontraktor pemenang tender pelaksana proyek dan rencana kerja proyek termasuk anggaran pengeluarannya penanganan banjir Kota Medan saat ini sesuai surat nomor : 358/LBH/S/XII/2022, tertanggal 14 Desember 2022 yang hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dari pihak Pemko Medan.

Berdasarkan seluruh uraian ini, LBH Medan meminta agar Walikota Medan segera memberikan klarifikasi resmi terkait pernyataan Kadis PU Kota Medan Topan Obaja Ginting sehingga publik khususnya masyarakat Kota Medan mendapatkan kepastian kewenangan dan tanggung jawab siapa proyek pengerjaan drainase ini, dan segera kebut penyelesaian pengerjaan drainase ini serta menjawab permintaan informasi dan data publik yang disampaikan LBH Medan.

Demikian rilis pers ini diperbuat, kami ucapkan terimakasih.

Contact Person :
Muhammad Alinafiah Matondang (Kadiv. SDA LBH Medan) : 0852 9607 5321 (wa)
Tri Achmad Tommy Sinambela : 0823 8527 8480 (wa)

Diduga Penetapan Tersangka Terhadap Ketua RT Dipaksakan, LBH Medan Praperadilankan Kapolrestabes Medan

Release Press
Nomor : 375/LBH/RP/XII/2022

(LBH Medan Kamis, 29 Desember 2022) Titis Kardianto (Pemohon Praperadilan) adalah RT dan Ketua Komplek Perumahan Permata Hijau Dusun XIII Desa Muliorejo Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang yang di angkat secara sah oleh Kepala Desa a.n Hj. Nelly Masril berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 114/31 tertanggal 05 Januari 2018. Kemudian Pemohon secara hukum telah mengajukan permohonan Praperadilan atas Sah atau Tidaknya penetapan Tersangka Pemohon terhadap Kapolrestabes Medan dan jajaranya (Termohon Praperadilan) ke Pengadilan Negeri Medan Kelas IA Khusus.

Diketahui Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Para Termohon berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) Nomor : B / 1180 / XII / RES.1.14. / 2022 / Reskrim, tertanggal 7 Desember 2022 yang ditandatangani Kasat Reskrim Polrestabes Medan Kompol. Tengku Fatir Mustafa, S.I.K, M.H atas adanya Laporan Polisi Nomor : LP / B / 1813 / IX / 2021 / SPKT / POLRESTABESMEDAN / POLDASUMATERA UTARA, tertanggal 15 September 2021 a.n FHN,SH (Pelapor) terkait dugaan tindak pidana penghinaan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 KUHPidana.

Penetapan Tersangka terhadap Pemohon berawal dari laporan Pelapor yang diketahui seorang PNS pada Pengadilan Agama Binjai. Dimana Pemohon merupakan seorang RT sekaligus Ketua Komplek saat itu menerima pengaduan beberapa warga adanya dugaan pelanggaran/tekanan berupa kenaikan iuran keamanan, kebersihan/sampah, penutupan portal yang terdapat di pos satpam komplek, menghalangi warga membuang sampah ditempat sampah komplek serta menghalangi petugas sampah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk mengutip sampah di setiap rumah bagi warga yang tidak bersedia membayar iuran sebesar Rp. 75. 000,-. Adapun iuran tersebut sebelumnya Rp. 50.000/perbulan, tetapi pelapor diduga mengubahnya menjadi Rp. 75.000/perbulan, dikarenakan pelapor menganggap dirinya telah diangkat sebagai ketua komplek.

Pasca menerima laporan tersebut Pemohon meneruskan pengaduan warga kepada Kepala Desa Muliorejo, terkait laporan tersebut Kepala Desa kemudian membuat dan mengirimkan undangan secara tertulis kepada Pelapor dengan Nomor: 005/4136 tertanggal 14 Juli 2021 guna musyawarah penyelesaian permasalah. Akan tetapi pelapor tidak menghadiri undangan tersebut. Kemudian pelapor kembali diundang Kepala Desa secara tertulis dengan Nomor : 005/4148 tertanggal 16 Juli 2021 namun kembali pelapor tidak menghadirinya serta tidak memberikan alasan ketidakhadirannya.

Dengan tidak adanya itikad baik dari Pelapor, pemohon mengirimkan surat permohonan dan melaporkan Pelapor ke Kejaksaan Negeri Binjai atas adanya dugaan pungli dan tindakan lainnya yang telah menimbulkan kegaduan dan ketidaknyamanan warga sebagaimana berdasarkan surat Nomor:003/PPH/IX/2021 tertanggal 06 September 2021 guna menyelesaikan permasalahan a quo. Oleh karena itu diduga pemohon ditetapkan sebagai Tersangka karena surat tersebut.

Parahnya, pasca terbitnya SPDP tersebut, Pemohon di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama dipanggil sebagai Tersangka sebagaimana berdasarkan surat panggilan I Nomor: S.Pgl/3573/XII/RES.1.14./2022/Reskrim, tertanggal 07 Desember 2022. Dengan sebelumnya pemohon belum pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi pasca menerima SPDP tersebut. Menduga adanya kejanggalan atas panggilan tersebut pemohon tidak menghadirinya. Atas tidak hadirnya pemohon pada panggilan I, Termohon kembali mengirimkan surat panggilan II dengan Nomor : S.Pgl/3573-a/XII/RES.1.14./2022/Reskrim tertanggal 12 Desember 2022.

LBH Medan menduga tindakan termohon yang telah menetapkan pemohon sebagai tersangka telah menyalahi aturan hukum yang berlaku dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Serta perbuatan tersebut terkesan dipaksakan dan ugal-ugalan. Seharusnya Termohon sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus profesional dan prosedural serta mematuhi aturan hukum yang berlaku.

LBH Medan menilai jika Termohon telah tutup mata atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU XII/2014 yang bersifat final and binding (mengikat). Putusan tersebut secara tegas dan jelas menjamin hak asasi manusia terkait seorang wajib terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli hukum pidana Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. yang tertuang di dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel yang dimohonkan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH.

Tidak hanya itu perbutan pemohon yang mengirimkan surat permohonan dan melaporkan dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelapor adalah bentuk kritik dan dilakukan dengan cara yang sah serta bentuk tanggung jawab pemohon sebagai RT dan ketua komplek yang mengakomodir pengaduan warganya. LBH Medan menilai tidak adanya mens rea (niat jahat) dan actus reus (Perbuatan) yang telah dilakukan oleh Pemohon. Oleh karena itu penetapan Tersangka tersebut jelas cacat hukum dan haruslah dibatalkan.

LBH Medan menduga tindakan tersebut telah melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) yang UUD 1945, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 7 DUHAM, UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICCPR, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU XII/2014, perkap no. 6 tahun 2019 tantang Penyidikan Tindak Pidana dan Pasal 7 ayat (1) huruf c Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode etik profesi polri.

Demikian release press ini diperbuat, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Contact Person :
Irvan Saputra, SH.,MH (0821-6373-6197)
Doni Choirul, SH (0812-8871-0084)

Proyek Drainase Amburadul, Kerja Buruk Wali Kota Medan

 Rilis Pers

Nomor : 374/LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 28 Desember 2022). Proyek Drainase yang dibuat oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution amburadul, seperti yang terjadi di Jl. Hindu/Perdana, Kesawan, Kota Medan. Proyek yang katanya mengatasi banjir di Kota Medan, justru menjadi penyebab kemacetan lalu lintas hingga menimbulkan korban di masyarakat banyak mobil dan Bus Pariwisata terperosok kelubang bekas galian diareal pengerjaan proyek bertepatan di depan kantor LBH Medan.

Beberapa waktu lalu masyarakat terdampak sekitar proyek juga menyampaikan keluhan ke LBH Medan atas debu, kemacetan, terputusnya jaringan pipa air PDAM dan potensi kecelakaan bagi pejalan kaki dari penyempitan jalan pengerjaan proyek. Banyak juga pedagang yang merugi karena terpaksa menutup tempat usaha saat dilakukan penggalian dan pengecoran drainase.

LBH Medan menilai proyek menantu Presiden R.I ini terkesan asal dan amburadul serta diduga tanpa pengawasan yang ketat dari Dinas PU Pemko Medan akan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pengguna jalan dan masyarakat sekitar proyek. Dan akan melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Amandemen UUD 1945. Untuk itu diminta kepada Walikota Medan Cq. Kadis PU Pemko Medan untuk segera menyelesaikan proyek dan mengatasi ketidaknyamanan ini tidak hanya bagi pengguna jalan dan masyarakat sekitar proyek akan tetapi juga bagi masyarakat yang mengakses bantuan hukum di LBH Medan sehingga tidak dianggap menghalang-halangi masyarakat pencari keadilan menikmati haknya sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Dan apabila tidak dihiraukan Pemko Medan maka akan memperbesar penderitaan kerugian bagi masyarakat dan patut bila masyarakat menempuh upaya hukum terhadap Pemko Medan dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meminta ganti kerugian sebagaimana diatur ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 1365 KUHPerdata. Sebelumnya LBH Medan juga menerima pengaduan masyarat atas ketidaknyamanan yang mereka alami dampak proyek drainase tersebut dan LBH Medan telah melayangkan surat keberatan dan mohon tindak lanjut yang berkeadilan dengan Nomor : 368/LBH/S/XII/2022 tertanggal 26 Desember 2022, yang ditujukan kepada Wali Kota Medan Bobby Nasution, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan.

Selain itu berdasarkan pantauan, informasi dan data yang dihimpun oleh LBH Medan pada wilayah lain yang juga sedang tahap proses pengerjaan drainase juga mengalami permasalahan diantaranya adanya dugaan pengerjaan proyek drainase yang terkesan tebang pilih, proyek drainase yang diharapkan mengurangi banjir namun sebaliknya diduga memicu banjir sampai dengan bekas korekan/galian dibiarkan mengakibatkan jalan di sekitarnya penuh lumpur dan menghambat arus lalu lintas dan aktivitas masyarakat.

Dengan amburadul nya proyek pengerjaan drainase Walikota Medan ini, LBH Medan menyampaikan surat kepada Kadis PU Pemko Medan dengan Nomor : 358/LBH/S/XII/2022, tertanggal 14 Desember 2022, yang meminta seluruh informasi dan data publik terkait kebijakan, perencanaan, anggaran dan kegiatan pelaksanaan proyek penanganan banjir oleh Walikota Medan namun hingga saat belum mendapatkan tanggapan dari pihak Pemko Medan.

Namun demikian dimintakan kepada Walikota Medan untuk secepatnya menyelesaikan dan mengatasi dampak yang diderita masyarakat dan meminimalisir potensi kecelakaan lalulintas mengingat proyek ini terkesan lambat dan lemahnya pengawasan yang bahkan menjelang libur tahun baru ini sangat berpotensi akan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang parah karena pengerjaan drainase ini dilakukan dibanyak titik di Kota Medan ditambah adanya pengalihan arus lalu lintas di banyak titik di Kota Medan yang juga terkesan hanya memindahkan lokasi kemacetan di Kota Medan.

Demikian rilis pers ini diperbuat, kami ucapkan terimakasih.

Contact Person :

Muhammad Alinafiah Matondang : 0852 9607 5321 (wa)

Tri Achmad Tommy Sinambela : 0823 8527 8480 (wa)

Selamat Hari Ibu. Semangat Berjuang Bagi Ibu Korban (Kekerasan Seksual) Pencari Keadilan

 Rilis Pers

Nomor : 363/LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 22 Desember 2022). Berdasarkan data atas pengaduan dan korban dampingan LBH Medan terkait isu kekerasan seksual hingga bulan Desember 2022 ini berjumlah 7 (Tujuh) kasus, dimana semua korban kekerasan seksual tersebut merupakan anak di bawah umur. Mirisnya dari ke-7 (Tujuh) kasus tersebut dominannya para pelaku bukanlah orang asing, melainkan orang-orang terdekat dari para Korban, baik itu jiran (tetangga), pacar, bahkan ayah kandung dari korban sendiri.

Mengenai pola kejahatan seksual yang dilakukan oleh para pelaku dengan cara kekerasan, pengancaman dengan menyebarkan foto dan video korbannya, dan ada yang mendekati korban dengan mengikuti aktivitas para korban dengan ikut bermain bersama mereka, memberikan uang jajan dan hadiah (barang dan mainan). Selain mengalami kerugian secara fisik para korban juga mengalami trauma psikis, bahkan seorang anak inisial RES (15 tahun) yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, bukan malah mendapatkan simpati justru diusir oleh warga sekitar.

Ironinya lagi, derita yang dialami oleh para korban tak hanya sebagaimana diatas, namun dalam proses penegakan hukum juga mereka sulit untuk mengakses keadilan. Adapun 7 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang didampingi oleh LBH Medan sepanjang tahun 2022 berdasarkan wilayah hukum Kepolisian sebagai berikut :

  1. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2615 / XII / 2021 / SPKT Polrestabes Medan / Polda Sumut tertanggal 05 Desember 2021 di Polrestabes Medan;
  2. Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat;
  3. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 1545 / V / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 16 Mei 2022 di Polrestabes Medan;
  4. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan;
  5. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 2230 / VII / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 12 Juli 2022 di Polrestabes Medan;
  6. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2954 / IX / YAN.2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMUT tertanggal tertanggal 19 September 2022 di Polrestabes Medan;
  7. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 3382 / XI / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 02 November 2022 di Polrestabes Medan.

Berdasarkan ke-7 kasus tersebut pihak Kepolisian dalam penangan perkara terhadap para korban terkesan tidak professional karena berlarut-larut (undue delay), bahkan memaksakan untuk melakukan restorative justice, dan diduga adanya upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa agar kasus tersebut tidak terungkap. Sebagai refleksi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh IPS (10 tahun), dimana kasus ini terungkap berawal dari tertangkapnya pelaku inisial HB alias Opa (±70 tahun) oleh warga saat sedang mencabuli 2 (dua) anak dibawah umur inisial Sw dan K (masing-masing berusia 10 tahun) di toilet masjid khusus perempuan.

Atas kejadian itu terungkap bahwa ternyata ada anak dibawah umur lainnya yang sebelumnya juga telah menjadi korban dari HB alias Opa yaitu Sk, B, Sy, (berusia 10 tahun) dan IPS sendiri yang mana atas pengakuan IPS itu, Ibu Kandungnya inisial SR (38 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan.

Namun anehnya atas kekerasan seksual sebelumnya yang dialami oleh Sw dan K diduga pihak Polrestabes Medan memaksakan restorative justice dan terjadilah perdamaian antara pelaku dengan pihak keluarga Sw dengan membayarkan kerugian diduga sebesar Rp.1.500.000.,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), maka hal itulah yang diduga membuat pihak Kepolisian terkesan mengulur-ulur waktu (undue delay) dan ada upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa yang dialami oleh IPS dan anak lainnya, sehingga menyebabkan laporan dari Ibu Kandung IPS tersebut mandek pada tahap penyelidikan di Polrestabes Medan.

Selanjutnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh inisial NF (17 tahun) oleh pelaku yang merupakan pacarnya inisial RFA (26 tahun), yang kemudian Ibu Kandung dari NF inisial F (60 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat.

Pasca laporan tersebut pihak Polres Langkat yang sudah menetapkan pelaku sebagai Tersangka melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat, namun Kejari Langkat mengembalikan berkas tersebut dengan beralasan pelaku mengalami penyakit “bipolar”. Saat dikonfirmasi melalui Kasipidum Kejari Langkat dengan arogan mengatakan “tidak akan memproses perkaranya sebelum ada Dokter/Ahli yang menyatakan Tersangka telah sembuh dari penyakit bipolarnya, dan siap untuk disurati/dilaporkan mengenai kinerjanya”.

LBH Medan berpandangan bahwa pola penangan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pihak Kepolisian yang terkesan berlarut-larut (undue delay) sangat mencederai rasa keadilan korban dan keluarga, serta semangat Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kemudian mengenai memaksakan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual juga dinilai sangat keliru dikarenakan kekerasan seksual merupakan tindak pidana/kejahatan berat maka tidak memenuhi syarat materil terkait prinsip pembatas terhadap pelaku tindak pidana yang relative berat untuk dilakukan restorative justice sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a angka 4 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kemudian bertentangan juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Kejaksaan R.I No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Oleh karena itu LBH Medan meminta kepada pihak Polrestabes Medan, Polres Langkat dan Kejari Langkat agar segera menindaklanjuti secara professional, proporsional, dan prosedural dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan memperbaiki pola penanganan perkara agar memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap para korban guna meminimalisir kejahatan seksual yang berpotensi akan terjadi kedepannya.

Demikian rilis pers ini dibuat. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Contact Person            :

Maswan Tambak        : 0895 1781 5588 (wa)

Khairiyah Ramadhani : 0823 6186 3626 (wa)

Tommy Sinambela      : 0823 8527 8480 (wa)  

 

SIARAN PERS   TOLAK PENGESAHAN RKUHP BERMASALAH, MASYARAKAT GELAR AKSI TABUR BUNGA DI GEDUNG DPR

 

Jakarta, 5 Desember 2022 – Masyarakat menggelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab RKUHP di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia. Aksi ini dilakukan setelah Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa, 6 Desember 2022, meski aturan ini ditolak oleh masyarakat. RKUHP merupakan produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk oleh pemerintah dan DPR dengan tidak partisipatif dan tidak transparan. Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada tanggal 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.

 

Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat. Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.

 

Adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah yakni:

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 RKUHP)

Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

 

Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

 

  1. Pasal terkait pidana mati (Pasal 100 RKUHP)

Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.

 

 

  1. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum: Pasal Subversif yang kembali muncul (Pasal 188)

 

Rapat Pembahasan RKUHP antara Pemerintah dan DPR Pada 24 November tiba-tiba memunculkan tambahan larangan dan ancaman pemidanaan bagi yang menyebarkan dan mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan pancasila.

 

Pasalnini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasa dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila.

 

Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

 

  1. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (Pasal 240 & 241 RKUHP)

Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.

 

  1. Ancaman Pidana Bagi kerja-kerja Advokat dan Jurnalis dalam ruang sidang pengadilan (Pasal 280 RKUHP)

Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.

 

  1. Pasal Kohabitasi : memunculkan legimasi persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat serta berpotensi mempidana korban kekerasan seksual (Pasal 412 RKUHP)

 

Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi ini juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

 

  1. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE

Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.

 

Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

 

  1. Ancaman Pemidanaan (Baru) Terhadap pawai, unjuk rasa dan Demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap menggangu ketertiban umum (Pasal 256 RKUHP)

 

Dalam draft 30 November 2022, dilarang dengan dipidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 10 juta, apabila pawai, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan dan dianggap mengganggu ketertiban umum

 

Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

 

Pasal ini lebih kolonial dari hukum buatan Belanda, asal pasal ini dari pasal 510 yang ancaman pidananya hanya penjara 2 minggu, sedangkan dalam pasal 256 menjadi penjara 6 bulan.

 

  1. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat  (Pasal 598 & 599 RKUHP)

 

Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.

 

 

  1. Meringankan ancaman bagi koruptor (Pasal 603, 604, 605 dan 606 RKUHP)

Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.

 

  1. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat (Pasal 46, 47 dan 48 RKUHP)

Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

 

  1. Masalah Pengaturan Pidana Denda (Pasal 81)

Dalam draft 30 November, diatur jika pidana denda tidak dibayarkan kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk melunasi Pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.

 

Permasalahannya, Pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Hal ini akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lainnya

 

 

Organisasi yang menolak pengesahan RKUHP bermasalah:

  1. YLBHI
  2. LBH Jakarta
  3. Trend Asia
  4. BEM Kema Unpad
  5. Greenpeace Indonesia
  6. BEM SI Kerakyatan
  7. HRWG
  8. BEM UI
  9. BEM STH Indonesia Jentera
  10. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
  11. Imparsial
  12. KontraS
  13. WALHI
  14. ICEL
  15. PBHI
  16. HuMa
  17. LBH Masyarakat
  18. LBH Pers
  19. Aslam Syah Muda
  20. Bangsa Mahasiswa
  21. YIFoS Indonesia
  22. Transparency International Indonesia
  23. BEM FH UI
  24. Solidaritas Perempuan
  25. AMAN
  26. Amnesty International Indonesia
  27. BEM KM UGM
  28. ICJR
  29. ELSAM
  30. PSHK
  31. Perkumpulan Rumah Cemara
  32. BEM UPNVJ
  33. Konfederasi KASBI
  34. Serikat Mahasiswa Indonesia
  35. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
  36. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
  37. Arus Pelangi
  38. Federasi Serikat Buruh Makanan dan Minuman
  39. SGRC Indonesia
  40. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
  41. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta
  42. PurpleCode Collective
  43. Pamflet Generasi
  44. Perempuan Mahardhika
  45. Enter Nusantara
  46. LBH Bandung
  47. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
  48. LBH Surabaya
  49. POKJA 30
  50. Gerakan #BersihkanIndonesia
  51. Koalisi Perempuan Indonesia
  52. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
  53. Jaringan Akademisi Gerak Perempuan (JARAK)
  54. DIALOKA
  55. Asia Justice and Rights (AJAR)
  56. LMID
  57. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)
  58. Lingkar Studi Feminis (LSF)
  59. Lingkar Studi Advokat (LSA)
  60. Walhi Jakarta
  61. Space UNJ
  62. BEM FH UPN VJ
  63. LBH Padang
  64. HWDI DKI Jakarta
  65. Suara Pelangi Bogor
  66. Aliansi Persatuan Rakyat Bekasi (PERAK BEKASI)
  67. Amartya
  68. BEM FH Esa Unggul
  69. WALHI Bengkulu
  70. WALHI Kaltim
  71. WALHI Jawa Timur
  72. WALHI Yogyakarta
  73. WALHI NTT
  74. WALHI Jambi
  75. WALHI Papua
  76. WALHI Maluku Utara
  77. WALHI Jawa Tengah
  78. Sentra Gerakan Buruh Nasional
  79. WALHI Sulawesi Tenggara
  80. WALHI Sumatera Selatan
  81. WALHI Jawa Barat
  82. LBH Banda Aceh
  83. LBH Medan
  84. LBH Pekanbaru
  85. LBH Palembang
  86. LBH Padang
  87. LBH Lampung
  88. LBH Bandung
  89. LBH Semarang
  90. LBH Yogyakarta
  91. LBH Surabaya
  92. LBH Bali
  93. LBH kalimantan Barat
  94.  LBH Samarinda
  95. LBH Palangkaraya
  96. LBH Makassar
  97. LBH manado
  98. LBH Papua
  99. Change.org Indonesia
  100. Gerpuan UNJ
  101. LBH APIK Jakarta
  102. Swara
  103. ASEAN SOEGIE Caucus
  104. Savrinadeya Support-Group
  105. BEM FH Unpad
  106. SAFENet
  107. LP3BH Manokwari
  108. WALHI Kalimantan Tengah
  109. WALHI Kepulauan Babel
  110. WALHI Aceh
  111. SKPKC Fransiskan Papua
  112. AJI Ambon
  113. AJI Balikpapan
  114. AJI Banda Aceh
  115. AJI Bandung
  116. AJI Batam
  117. AJI Bireun
  118. AJI Bojonegoro
  119. AJI Denpasar
  120. AJI Gorontalo
  121. AJI Jakarta
  122. AJI Jambi
  123. AJI Jayapura
  124. AJI Jember
  125. AJI Kediri
  126. AJI Kendari
  127. AJI Kupang
  128. AJI Lampung
  129. AJI Lhokseumawe
  130. AJI Tanjungpinang
  131. AJI Makassar
  132. AJI Malang
  133. AJI Manado
  134. AJI Mandar
  135. AJI Mataram
  136. AJI Medan
  137. AJI Purwokerto
  138. AJI Padang
  139. AJI Palembang
  140. AJI Palu
  141. AJI Pekanbaru
  142. AJI Bengkulu
  143. AJI Langsa
  144. AJI Pontianak
  145. AJI Semarang
  146. AJI Surabaya
  147. AJI Surakarta
  148. AJI Ternate
  149. AJI Yogyakarta
  150. AJI kota Pangkalpinang
  151. AJI kota Samarinda