Pos

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 299/LBH/RP/X/2022 “Kadisdik Sergai Ancam Patahkan Leher Wartawan : Algojo atau Pelayan Publik?” “Dimintai Konfirmasi, Kadisdik Sergai Ancam Patahkan Leher Wartawan”

 

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 21 Oktober 2022). Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Serdang Bedagai, Suwanto Nasution melakukan pengancaman kekerasan terhadap seorang wartawan Medan Bisnis yang bernama Jhoni Sitompul pada Rabu, 19 Oktober 2022. Pengancaman bermula saat wartawan menghubungi Kadisdik via telepon untuk mengonfirmasi tembok sekolah yang roboh di SD Negeri 104301 Pematang Ganjang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Sergai roboh pada Rabu, 19 Oktober 2022 sekitar pukul 08.00 WIB.

Insiden tembok kamar mandi roboh ini mengakibatkan 3 orang siswa kelas lima terluka dan dan seorang diantaranya dilaporkan mengalami luka serius di bagian punggung belakang sehingga dibawa ke dukun patah. Namun, Kadisdik yang dimintai konfirmasi pada sore harinya malah membalas dengan nada ketus disertai ancaman dengan mengatakan “Yang mana yang patah tulang, bisa tunjukkan?. Nanti kalau nggak patah tulang, tulang kau yang kupatahkan.” Kalimat arogan ini tidak sepantasnya diucapkan khususnya terhadap wartawan.

Seorang wartawan berhak atas penghidupan, kemerdekaan, keselamatan dan terbebas dari ancaman yang membahayakan dirinya. Hal ini dijamin dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights. Wartawan juga berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 F.

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang turut dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, diatur secara tegas bahwa wartawan mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Sehingga dalam kasus a quo, seharusnya Kadisdik menjawab dan memberikan informasi berdasarkan apa yang diketahui sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dalam berdemokrasi meminta Kadisdik menyampaikan permohonan maaf serta meminta Bupati Serdang Bedagai mengambil sikap dengan mengevaluasi jajaran pemerintahan dibawahnya, memberikan sanksi tegas serta memberhentikan pejabat yang tidak dapat menjalan tugas dan wewenangnya sebagai pelayan publik.

 

 

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

Release Press Nomor:298/LBH/RP/X/2022 7 ANAK ALAMI GAGAL GINJAL AKUT MISTERIUS MENIGGAL DI SUMUT, LBH MEDAN “SALUS POPULI SUPREMA LEX ESTO” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi)

LBH Medan, 20 Oktober 2022, Anak adalah generasi penurus bangsa yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. oleh karena itu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sebagaimana amanat Pasal 28 B dan H Undang-Undang Dasar 1945.
Gangguan Ginjal Akut misterius terhadap anak yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan kekhwatiran di masyarakat terkhusus bagi para orang tua. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat hingga 18 Oktober 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut yang dilaporkan sebanyak 206 dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak. hal tersebut disampaikan langsung oleh Mohammad Syahril selaku juru bicara kementerian kesehatan R.I pada 19 Oktober 2022 kepada CNN Indonesia.
Sumatera Utara, melalui Ismail Lubis selaku Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara (Sumut) mencatat 11 orang anak menjalani perawatan di rumah sakit karena menderita gagal ginjal akut misterius. Dari jumlah tersebut, 7 (tujuh) di antaranya meninggal dunia. Adapun anak-anak yang meninggal akibat gagal ginjal akut misterius tersebut berusia 1-5 tahun dengan gejala demam gangguan pencernaan seperti muntah dan diare, Gangguan pernapasan seperti batuk dan pilek tidak bisa kencing atau volume urine yang keluar sangat sedikit.
Menyikapi hal tersebut LBH Medan sebagai Lembaga yang konsern terhadap perlindungan anak dan hak asasi manusia meminta pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan Sumatera Utara memproritsakan keselamatan rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) terkhusus kepada anak. Gangguan ginjal akut misterius yang hari ini mengkhawatirkan di Sumut harus disikapi secara cepat dan benar guna memberikan perlindungan anak dalam hal kesehatanya. Hingga saat ini belum diketahui penyebab terjadinya gagal ginjal akut.
Disis lain Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, menginstruksikan agar “seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang” sebagaimana tertuang pada poin 8 dari SE tersebut.

LBH Medan menilai Kemenkes tidak cukup hanya sekedar memberikan instruksi tetapi juga harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap apotek karena tidak menutup kemungkinan masih ada pihak-pihak yang belum mendapakan informasi tersebut secara langsung.

Kemenkes seharusnya mengambil langkah konkrit dan tegas dengan menarik obat-obatan berbahaya yang sudah beredar di masyarakat tak hanya di apotek namun di toko-toko obat dan warung yang biasa menjual obat-obat ini. Tidak hanya itu kemenkes dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut secara khusus juga harus memastikan pelayanan kesehatan terhadap anak-anak yang menderita gangguan ginjal akut guna mencegah bertambahnya korban. Semisal tersedianya rumah sakit yang menangani cepat penyakit tersebut dengan memastikan ketersedian ruangan dan alat penanganan atas penyakit gangguan ginjal akut tersebut. Hal ini harus dilakukan karena keselamatan masyarakat (anak) merupakan hukum tertinggi.

Demikian rilis pers ini disampaikan agar dapat dijadikan sebagai sumber pemberitaan. Terimakasih.

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, SH., MH (0821 6373 6197)
KHAIRIYA RAHMADHANI, SH ( 0823 6186 3626)

Putusan Yang Mempermainkan Konstitusi dan Rakyat!

Putusan Yang Mempermainkan Konstitusi dan Rakyat!

LBH Medan, Press Release YLBHI-LBH Se-Indonesia – Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Pengujian Omnibus Law UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja : Putusan Yang Mempermainkan Konstitusi dan Rakyat!

Hari ini, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pada pokoknya:

  • Pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  • Menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  • Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;
  • Menyatakan  apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11 Tahun 2020 maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
  • Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Atas putusan ini, YLBHI dan 17 LBH Se-Indonesia menyatakan :

  1. Dari putusan ini jelas pemerintah dan DPR telah salah, yakni  melanggar Konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan UU, walaupun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Tetapi putusan MK menggambarkan kekeliruan yang prinsipil;
  2. Dari putusan MK ini juga pemerintah tidak bisa memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya. Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja. Padahal saat ini UU Cipta Kerja telah diberlakukan beserta seluruh PP turunannya. Maka penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup.
  3. Meminta pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup;
  4. Jauh sebelum MK menyatakan UU CK melanggar Konstitusi, berbagai kelompok masyarakat di banyak wilayah dengan berbagai pekerjaan dan latar  belakang telah mengatakan Omnibus Law UU CK melanggar Konstitusi, tapi Pemerintah bergeming. Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundang dan tidak mengulangi, karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya  baik secara prosedur maupun isi;
  5. Pada sisi lain, ketidakpercayaan terhadap MK terjawab sudah. Putusan ini adalah putusan kompromi. Putusan ini menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK.  Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan “Batal” saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran. ini juga  membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan 4 dari 9 hakim menyatakan dissenting dalam arti berpendapat UU OLCK sesuai dengan Konstitusi. Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti.

Jakarta, 25 November 2021

Hormat kami

  1. Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)
  2. LBH Banda Aceh
  3. LBH Medan
  4. LBH Palembang
  5. LBH Padang
  6. LBH Pekanbaru
  7. LBH Lampung
  8. LBH Jakarta
  9. LBH Bandung
  10. LBH Semarang
  11. LBH Surabaya
  12. LBH Bali
  13. LBH Makassar
  14. LBH Yogyakarta
  15. LBH Papua
  16. LBH Palangkaraya
  17. LBH Manado
  18. LBH Samarinda

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/harapan-pancasila-kepada-omnibus-law/