Pos

Akibat Viral Jalan di Cor Beton Siap Satu Malam, Kadis PU Kota Medan Buang Badan Pekerjaan

Rilis Pers

Nomor : 376 /LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 30 Desember 2022). Pasca viralnya pengerjaan proyek drainase amburadul yang dibuat oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution tepat didepan kantor LBH Medan di Jl. Hindu/Jl. Perdana, Kesawan, Kota Medan terakhir terdokumentasi pada tanggal 28 Desember 2022 satu unit Bus Pariwisata berpenumpang wisatawan dari Malaysia terperosok berjam-jam akibat belum selesainya pengerjaan galian dan pengecoran galian drainase sehingga terjadi kemacetan dan kekesalan dari para pengguna jalan.

Viralnya dampak amburadulnya pengerjaan proyek ini ternyata mendapatkan respon yang tidak diduga dilakukannya pembetonan jalan kebut 1 (satu) malam dilokasi Bus Pariwisata terperosok tepat didepan kantor LBH Medan padahal sepemantauan LBH Medan dilokasi ini sepertinya ada bahagian pekerjaan yang belum selesai dikerjakan. Namun tetap menimbulkan pertanyaan bekas galian drainase sekitar pembetonan jalan masih disepanjang Jl. Perdana belum juga memperlihatkan kemajuan yang pesat sebagaimana pesatnya pembetonan jalan dilokasi terperosoknya Bus Pariwisata dan mobil-mobil sebelumnya didepan kantor LBH Medan.

Pemantauan LBH Medan dilapangan dan informasi dari berbagai sumber terdapat beberapa lokasi proyek pengerjaan drainase Pemko Medan yang belum selesai hingga saat ini yang juga berpotensi menyebabkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas serta potensi kecelakaan bagi pejalan kaki di Jl. Raden Saleh (tak jauh dari gedung Wali Kota), Jl. Denai dan simpang Jl. Menteng Raya Kecamatan Medan Denai dan lokasi lainnya. Setali tiga uang sebagaimana yang dialami oleh masyarakat dan pedagang di Jl. Perdana/Jl. Hindu, sangat dimungkinkan masyarakat dan pelaku usaha di semua lokasi proyek ini juga mengalami dampak/akibat atau kerugian yang sama akibat terkesan lambatnya penyelesaian pengerjaan proyek drainase Pemko Medan ini.

Untuk menghindari perspektif negative masyarakat tidak seriusnya percepatan penyelesaian proyek ini dan menghindari complain dan tuntutan kerugian masyarakat ditujukan kepada Walokita Medan atas potensi dampak-dampak proyek drainase ini sudah seharusnya Walikota Medan dan Kadis PU Kota Medan segera kebut penyelesaian proyek drainase ini sebagaimana yang telah dibuktikan pada lokasi terperosoknya Bus Pariwisata dan mobil lain sebelumnya yang tepat didepan kantor LBH Medan tentunya dengan baik dan benar tanpa harus ada keluhan dan tuntutan masyarakat terlebih dahulu.

Selanjutnya menyikapi pernyataan dari Kadis PU Kota Medan Topan Obaja Ginting sebagaimana dikutip dari https://www.msn.com/id-id/berita/other/malunya-turis-malaysia-sampai-merasakan-buruknya-wajah-kota-medan-akibat-proyek-drainase/ar-AA15KQhc?li=BB12qLfT&s=09 yang menyatakan “Itu kerjaan Menteri PUPR, tanya merekalah kenapa lama proses pembangunannya, tidak semua proyek yang ada di Kota Medan dipegang oleh Dinas PUPR Kota Medan. Proyek yang ada di Kota Medan ini tidak seluruh dipegang oleh kami Dinas PU, kalau kami kerjakan, kami yang bermasalah, makanya segala bentuk pembangunan area itu tidak kami ganggu,”.

Pernyataan Kadis PU Kota Medan ini bertolak belakang dengan fakta dilapangan dengan adanya plank dilokasi proyek yang memajang foto Walikota dan Wakil Walikota Medan sehingga membutuhkan penjelasan resmi dari Walikota Medan terkait kebenaran pernyataan Kadis PU Kota Medan ini kepada publik khususnya masyarakat Kota Medan sehingga publik dapat menilai kompetensi dan tanggungjawab pengerjaan proyek drainase ini serta dapat menilai efektifitas, efisiensi dan keseriusan Walikota Medan dalam menggunakan uang masyarakat Kota Medan pada APBD Kota Medan dalam pengerjaan poyek bila benar proyek ini merupakan kewenangan dan tanggungjawabnya Walikota Medan Bobby Nasution.

Terkait sanggahan Kadis PU Kota Medan ini dan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, LBH Medan sebelumnya telah meminta informasi dan data publik secara tertulis terkait Masterplan kegiatan pelaksanaan, seluruh dokumen kebijakan, dokumen perjanjian antara Dinas PU Kota Medan dengan kontraktor pemenang tender pelaksana proyek dan rencana kerja proyek termasuk anggaran pengeluarannya penanganan banjir Kota Medan saat ini sesuai surat nomor : 358/LBH/S/XII/2022, tertanggal 14 Desember 2022 yang hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dari pihak Pemko Medan.

Berdasarkan seluruh uraian ini, LBH Medan meminta agar Walikota Medan segera memberikan klarifikasi resmi terkait pernyataan Kadis PU Kota Medan Topan Obaja Ginting sehingga publik khususnya masyarakat Kota Medan mendapatkan kepastian kewenangan dan tanggung jawab siapa proyek pengerjaan drainase ini, dan segera kebut penyelesaian pengerjaan drainase ini serta menjawab permintaan informasi dan data publik yang disampaikan LBH Medan.

Demikian rilis pers ini diperbuat, kami ucapkan terimakasih.

Contact Person :
Muhammad Alinafiah Matondang (Kadiv. SDA LBH Medan) : 0852 9607 5321 (wa)
Tri Achmad Tommy Sinambela : 0823 8527 8480 (wa)

Diduga Penetapan Tersangka Terhadap Ketua RT Dipaksakan, LBH Medan Praperadilankan Kapolrestabes Medan

Release Press
Nomor : 375/LBH/RP/XII/2022

(LBH Medan Kamis, 29 Desember 2022) Titis Kardianto (Pemohon Praperadilan) adalah RT dan Ketua Komplek Perumahan Permata Hijau Dusun XIII Desa Muliorejo Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang yang di angkat secara sah oleh Kepala Desa a.n Hj. Nelly Masril berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 114/31 tertanggal 05 Januari 2018. Kemudian Pemohon secara hukum telah mengajukan permohonan Praperadilan atas Sah atau Tidaknya penetapan Tersangka Pemohon terhadap Kapolrestabes Medan dan jajaranya (Termohon Praperadilan) ke Pengadilan Negeri Medan Kelas IA Khusus.

Diketahui Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Para Termohon berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) Nomor : B / 1180 / XII / RES.1.14. / 2022 / Reskrim, tertanggal 7 Desember 2022 yang ditandatangani Kasat Reskrim Polrestabes Medan Kompol. Tengku Fatir Mustafa, S.I.K, M.H atas adanya Laporan Polisi Nomor : LP / B / 1813 / IX / 2021 / SPKT / POLRESTABESMEDAN / POLDASUMATERA UTARA, tertanggal 15 September 2021 a.n FHN,SH (Pelapor) terkait dugaan tindak pidana penghinaan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 KUHPidana.

Penetapan Tersangka terhadap Pemohon berawal dari laporan Pelapor yang diketahui seorang PNS pada Pengadilan Agama Binjai. Dimana Pemohon merupakan seorang RT sekaligus Ketua Komplek saat itu menerima pengaduan beberapa warga adanya dugaan pelanggaran/tekanan berupa kenaikan iuran keamanan, kebersihan/sampah, penutupan portal yang terdapat di pos satpam komplek, menghalangi warga membuang sampah ditempat sampah komplek serta menghalangi petugas sampah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk mengutip sampah di setiap rumah bagi warga yang tidak bersedia membayar iuran sebesar Rp. 75. 000,-. Adapun iuran tersebut sebelumnya Rp. 50.000/perbulan, tetapi pelapor diduga mengubahnya menjadi Rp. 75.000/perbulan, dikarenakan pelapor menganggap dirinya telah diangkat sebagai ketua komplek.

Pasca menerima laporan tersebut Pemohon meneruskan pengaduan warga kepada Kepala Desa Muliorejo, terkait laporan tersebut Kepala Desa kemudian membuat dan mengirimkan undangan secara tertulis kepada Pelapor dengan Nomor: 005/4136 tertanggal 14 Juli 2021 guna musyawarah penyelesaian permasalah. Akan tetapi pelapor tidak menghadiri undangan tersebut. Kemudian pelapor kembali diundang Kepala Desa secara tertulis dengan Nomor : 005/4148 tertanggal 16 Juli 2021 namun kembali pelapor tidak menghadirinya serta tidak memberikan alasan ketidakhadirannya.

Dengan tidak adanya itikad baik dari Pelapor, pemohon mengirimkan surat permohonan dan melaporkan Pelapor ke Kejaksaan Negeri Binjai atas adanya dugaan pungli dan tindakan lainnya yang telah menimbulkan kegaduan dan ketidaknyamanan warga sebagaimana berdasarkan surat Nomor:003/PPH/IX/2021 tertanggal 06 September 2021 guna menyelesaikan permasalahan a quo. Oleh karena itu diduga pemohon ditetapkan sebagai Tersangka karena surat tersebut.

Parahnya, pasca terbitnya SPDP tersebut, Pemohon di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama dipanggil sebagai Tersangka sebagaimana berdasarkan surat panggilan I Nomor: S.Pgl/3573/XII/RES.1.14./2022/Reskrim, tertanggal 07 Desember 2022. Dengan sebelumnya pemohon belum pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi pasca menerima SPDP tersebut. Menduga adanya kejanggalan atas panggilan tersebut pemohon tidak menghadirinya. Atas tidak hadirnya pemohon pada panggilan I, Termohon kembali mengirimkan surat panggilan II dengan Nomor : S.Pgl/3573-a/XII/RES.1.14./2022/Reskrim tertanggal 12 Desember 2022.

LBH Medan menduga tindakan termohon yang telah menetapkan pemohon sebagai tersangka telah menyalahi aturan hukum yang berlaku dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Serta perbuatan tersebut terkesan dipaksakan dan ugal-ugalan. Seharusnya Termohon sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus profesional dan prosedural serta mematuhi aturan hukum yang berlaku.

LBH Medan menilai jika Termohon telah tutup mata atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU XII/2014 yang bersifat final and binding (mengikat). Putusan tersebut secara tegas dan jelas menjamin hak asasi manusia terkait seorang wajib terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli hukum pidana Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. yang tertuang di dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel yang dimohonkan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH.

Tidak hanya itu perbutan pemohon yang mengirimkan surat permohonan dan melaporkan dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelapor adalah bentuk kritik dan dilakukan dengan cara yang sah serta bentuk tanggung jawab pemohon sebagai RT dan ketua komplek yang mengakomodir pengaduan warganya. LBH Medan menilai tidak adanya mens rea (niat jahat) dan actus reus (Perbuatan) yang telah dilakukan oleh Pemohon. Oleh karena itu penetapan Tersangka tersebut jelas cacat hukum dan haruslah dibatalkan.

LBH Medan menduga tindakan tersebut telah melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) yang UUD 1945, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 7 DUHAM, UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICCPR, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU XII/2014, perkap no. 6 tahun 2019 tantang Penyidikan Tindak Pidana dan Pasal 7 ayat (1) huruf c Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode etik profesi polri.

Demikian release press ini diperbuat, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Contact Person :
Irvan Saputra, SH.,MH (0821-6373-6197)
Doni Choirul, SH (0812-8871-0084)

Proyek Drainase Amburadul, Kerja Buruk Wali Kota Medan

 Rilis Pers

Nomor : 374/LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 28 Desember 2022). Proyek Drainase yang dibuat oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution amburadul, seperti yang terjadi di Jl. Hindu/Perdana, Kesawan, Kota Medan. Proyek yang katanya mengatasi banjir di Kota Medan, justru menjadi penyebab kemacetan lalu lintas hingga menimbulkan korban di masyarakat banyak mobil dan Bus Pariwisata terperosok kelubang bekas galian diareal pengerjaan proyek bertepatan di depan kantor LBH Medan.

Beberapa waktu lalu masyarakat terdampak sekitar proyek juga menyampaikan keluhan ke LBH Medan atas debu, kemacetan, terputusnya jaringan pipa air PDAM dan potensi kecelakaan bagi pejalan kaki dari penyempitan jalan pengerjaan proyek. Banyak juga pedagang yang merugi karena terpaksa menutup tempat usaha saat dilakukan penggalian dan pengecoran drainase.

LBH Medan menilai proyek menantu Presiden R.I ini terkesan asal dan amburadul serta diduga tanpa pengawasan yang ketat dari Dinas PU Pemko Medan akan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pengguna jalan dan masyarakat sekitar proyek. Dan akan melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Amandemen UUD 1945. Untuk itu diminta kepada Walikota Medan Cq. Kadis PU Pemko Medan untuk segera menyelesaikan proyek dan mengatasi ketidaknyamanan ini tidak hanya bagi pengguna jalan dan masyarakat sekitar proyek akan tetapi juga bagi masyarakat yang mengakses bantuan hukum di LBH Medan sehingga tidak dianggap menghalang-halangi masyarakat pencari keadilan menikmati haknya sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Dan apabila tidak dihiraukan Pemko Medan maka akan memperbesar penderitaan kerugian bagi masyarakat dan patut bila masyarakat menempuh upaya hukum terhadap Pemko Medan dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meminta ganti kerugian sebagaimana diatur ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 1365 KUHPerdata. Sebelumnya LBH Medan juga menerima pengaduan masyarat atas ketidaknyamanan yang mereka alami dampak proyek drainase tersebut dan LBH Medan telah melayangkan surat keberatan dan mohon tindak lanjut yang berkeadilan dengan Nomor : 368/LBH/S/XII/2022 tertanggal 26 Desember 2022, yang ditujukan kepada Wali Kota Medan Bobby Nasution, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan.

Selain itu berdasarkan pantauan, informasi dan data yang dihimpun oleh LBH Medan pada wilayah lain yang juga sedang tahap proses pengerjaan drainase juga mengalami permasalahan diantaranya adanya dugaan pengerjaan proyek drainase yang terkesan tebang pilih, proyek drainase yang diharapkan mengurangi banjir namun sebaliknya diduga memicu banjir sampai dengan bekas korekan/galian dibiarkan mengakibatkan jalan di sekitarnya penuh lumpur dan menghambat arus lalu lintas dan aktivitas masyarakat.

Dengan amburadul nya proyek pengerjaan drainase Walikota Medan ini, LBH Medan menyampaikan surat kepada Kadis PU Pemko Medan dengan Nomor : 358/LBH/S/XII/2022, tertanggal 14 Desember 2022, yang meminta seluruh informasi dan data publik terkait kebijakan, perencanaan, anggaran dan kegiatan pelaksanaan proyek penanganan banjir oleh Walikota Medan namun hingga saat belum mendapatkan tanggapan dari pihak Pemko Medan.

Namun demikian dimintakan kepada Walikota Medan untuk secepatnya menyelesaikan dan mengatasi dampak yang diderita masyarakat dan meminimalisir potensi kecelakaan lalulintas mengingat proyek ini terkesan lambat dan lemahnya pengawasan yang bahkan menjelang libur tahun baru ini sangat berpotensi akan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang parah karena pengerjaan drainase ini dilakukan dibanyak titik di Kota Medan ditambah adanya pengalihan arus lalu lintas di banyak titik di Kota Medan yang juga terkesan hanya memindahkan lokasi kemacetan di Kota Medan.

Demikian rilis pers ini diperbuat, kami ucapkan terimakasih.

Contact Person :

Muhammad Alinafiah Matondang : 0852 9607 5321 (wa)

Tri Achmad Tommy Sinambela : 0823 8527 8480 (wa)

Selamat Hari Ibu. Semangat Berjuang Bagi Ibu Korban (Kekerasan Seksual) Pencari Keadilan

 Rilis Pers

Nomor : 363/LBH/RP/XII/2022

(Lembaga Bantuan Hukum Medan, 22 Desember 2022). Berdasarkan data atas pengaduan dan korban dampingan LBH Medan terkait isu kekerasan seksual hingga bulan Desember 2022 ini berjumlah 7 (Tujuh) kasus, dimana semua korban kekerasan seksual tersebut merupakan anak di bawah umur. Mirisnya dari ke-7 (Tujuh) kasus tersebut dominannya para pelaku bukanlah orang asing, melainkan orang-orang terdekat dari para Korban, baik itu jiran (tetangga), pacar, bahkan ayah kandung dari korban sendiri.

Mengenai pola kejahatan seksual yang dilakukan oleh para pelaku dengan cara kekerasan, pengancaman dengan menyebarkan foto dan video korbannya, dan ada yang mendekati korban dengan mengikuti aktivitas para korban dengan ikut bermain bersama mereka, memberikan uang jajan dan hadiah (barang dan mainan). Selain mengalami kerugian secara fisik para korban juga mengalami trauma psikis, bahkan seorang anak inisial RES (15 tahun) yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, bukan malah mendapatkan simpati justru diusir oleh warga sekitar.

Ironinya lagi, derita yang dialami oleh para korban tak hanya sebagaimana diatas, namun dalam proses penegakan hukum juga mereka sulit untuk mengakses keadilan. Adapun 7 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang didampingi oleh LBH Medan sepanjang tahun 2022 berdasarkan wilayah hukum Kepolisian sebagai berikut :

  1. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2615 / XII / 2021 / SPKT Polrestabes Medan / Polda Sumut tertanggal 05 Desember 2021 di Polrestabes Medan;
  2. Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat;
  3. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 1545 / V / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 16 Mei 2022 di Polrestabes Medan;
  4. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan;
  5. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 2230 / VII / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 12 Juli 2022 di Polrestabes Medan;
  6. Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP / 2954 / IX / YAN.2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMUT tertanggal tertanggal 19 September 2022 di Polrestabes Medan;
  7. Tanda Bukti Lapor Nomor : LP / B / 3382 / XI / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 02 November 2022 di Polrestabes Medan.

Berdasarkan ke-7 kasus tersebut pihak Kepolisian dalam penangan perkara terhadap para korban terkesan tidak professional karena berlarut-larut (undue delay), bahkan memaksakan untuk melakukan restorative justice, dan diduga adanya upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa agar kasus tersebut tidak terungkap. Sebagai refleksi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh IPS (10 tahun), dimana kasus ini terungkap berawal dari tertangkapnya pelaku inisial HB alias Opa (±70 tahun) oleh warga saat sedang mencabuli 2 (dua) anak dibawah umur inisial Sw dan K (masing-masing berusia 10 tahun) di toilet masjid khusus perempuan.

Atas kejadian itu terungkap bahwa ternyata ada anak dibawah umur lainnya yang sebelumnya juga telah menjadi korban dari HB alias Opa yaitu Sk, B, Sy, (berusia 10 tahun) dan IPS sendiri yang mana atas pengakuan IPS itu, Ibu Kandungnya inisial SR (38 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : STTLP / B / 1085 / III / YAN:2.5 / 2022 / SPKT / POLRESTABES MEDAN / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 31 Mei 2022, di Polrestabes Medan.

Namun anehnya atas kekerasan seksual sebelumnya yang dialami oleh Sw dan K diduga pihak Polrestabes Medan memaksakan restorative justice dan terjadilah perdamaian antara pelaku dengan pihak keluarga Sw dengan membayarkan kerugian diduga sebesar Rp.1.500.000.,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), maka hal itulah yang diduga membuat pihak Kepolisian terkesan mengulur-ulur waktu (undue delay) dan ada upaya mengaburkan fakta dalam peristiwa yang dialami oleh IPS dan anak lainnya, sehingga menyebabkan laporan dari Ibu Kandung IPS tersebut mandek pada tahap penyelidikan di Polrestabes Medan.

Selanjutnya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh inisial NF (17 tahun) oleh pelaku yang merupakan pacarnya inisial RFA (26 tahun), yang kemudian Ibu Kandung dari NF inisial F (60 tahun) membuat laporan polisi dengan Nomor : LP / B / 59 / I / 2022 / SPKT / POLRES LANGKAT / POLDA SUMATERA UTARA tertanggal 19 Januari 2022 di Polres Langkat.

Pasca laporan tersebut pihak Polres Langkat yang sudah menetapkan pelaku sebagai Tersangka melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat, namun Kejari Langkat mengembalikan berkas tersebut dengan beralasan pelaku mengalami penyakit “bipolar”. Saat dikonfirmasi melalui Kasipidum Kejari Langkat dengan arogan mengatakan “tidak akan memproses perkaranya sebelum ada Dokter/Ahli yang menyatakan Tersangka telah sembuh dari penyakit bipolarnya, dan siap untuk disurati/dilaporkan mengenai kinerjanya”.

LBH Medan berpandangan bahwa pola penangan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pihak Kepolisian yang terkesan berlarut-larut (undue delay) sangat mencederai rasa keadilan korban dan keluarga, serta semangat Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kemudian mengenai memaksakan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual juga dinilai sangat keliru dikarenakan kekerasan seksual merupakan tindak pidana/kejahatan berat maka tidak memenuhi syarat materil terkait prinsip pembatas terhadap pelaku tindak pidana yang relative berat untuk dilakukan restorative justice sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a angka 4 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kemudian bertentangan juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Kejaksaan R.I No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Oleh karena itu LBH Medan meminta kepada pihak Polrestabes Medan, Polres Langkat dan Kejari Langkat agar segera menindaklanjuti secara professional, proporsional, dan prosedural dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan memperbaiki pola penanganan perkara agar memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum terhadap para korban guna meminimalisir kejahatan seksual yang berpotensi akan terjadi kedepannya.

Demikian rilis pers ini dibuat. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Contact Person            :

Maswan Tambak        : 0895 1781 5588 (wa)

Khairiyah Ramadhani : 0823 6186 3626 (wa)

Tommy Sinambela      : 0823 8527 8480 (wa)  

 

Tuntutan Kasus Kerangkeng Manusia Sangat Ringan & Lukai Rasa Keadilan Masyarakat, LBH Medan Minta Jamwas Kejagung dan Komisi Kejaksaan R.I Periksa Kajari, Kasi Pidum dan JPU Kejaksaan Negeri Langkat

RELEASE PRESS
Nomor:324/LBH/RP/XI/2022

(LBH Medan, 15 November 2022). Senin, 14 November 2022 sidang lanjutan terhadap 4 (empat) Terdakwa berinisial DP, HS, IS dan HS dengan Register Perkara Nomor: 467/Pid.B/2022/PN.Stb dan 468/Pid.B/2022/PN.Stb atas dugaan tindak pidana kekerasan/penyiksaan di kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Non-aktif Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP) yang mengakibatkan SG dan ASI (korban) meninggal dunia telah memasuki sidang pembacaan Tuntutan.

Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para Terdakwa yaitu 3 Tahun penjara, dimana JPU dalam tuntutanya menyatakan jika para Terdakwa secara sah bersalah melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Padahal para Terdakwa sebelumnya didakwakan telah melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun atau selama-lamanya 7 tahun penjara.

LBH Medan menilai tuntutan JPU sangat ringan dan melukai rasa keadialan di masyarakat, seharusnya tindakan para Terdakwa yang diduga telah menghilangkan nyawa para korban dituntut secara objektif sesuai aturan hukum yang berlaku. LBH Medan juga menduga ada kejanggalan dalam tuntutan dan ketidak seriusan JPU menangani perkara a quo.

Pertama, dalam dakwaanya para terdakawa melanggar 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau 351 ayat (3) KUHP, hal ini menggambarkan jika dakwaan yang disusun oleh JPU telah cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan pasal 143 KUHAP.Namun anehnya ketika tuntutan jaksa menyatakan jika para terdakwa secara sah melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Kedua, tuntutan JPU sangat ringat dimana acaman pasal tersebut 7 tahun penjara, tetapi dituntut 3 tahun penjara artinya tidak sampai setengah dari ancamannya.

Ketiga, diketahui dalam pemberitaan jika JPU menyatakan terharuh atas restitusi yang dilakukan oleh para terdakwa hal ini menggambarkan ketidakobjektifan JPU dalam perkara a quo yang seharusnya berdiri bersama korban.

Keempat, seharusnya agenda sidang tuntutan tanggal 09 November 2022, namun ditunda menjadi tanggal 14 November 2022 dan Kelima, diketahui sidang dilaksanakan jam 18.00 Wib. Padahal perkara ini sangat mendapatkan perhatian publik secara nasional (Viral) namun disidangkan diwaktu yang sangat sore. Hal ini semua menggambarkan adanya kejanggalan dalam tuntutan JPU.

Terkait banyaknya kejanggalan tersebut, LBH Medan secara tegas meminta kepada Jamwas (Jaksa Muda Pengawas) Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan R.I untuk memeriksa dan menindak Kajari, Kasi Pidum dan JPU dalam perkara a quo. Karena menurut hukum tuntutan JPU telah melukai rasa keadilan masyarakat dan bertentangan dengan Surat Edaran Kepala Kejaksaan Agung R.I Nomor: SE-001/J-A/4/1995 atau Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pedoman Penuntutan. Jika hal ini tidak ditindak lanjuti secara serius maka akan sangat berdampak kepada kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan terkhusus Kejaksaan Negeri Langkat.

LBH Medan juga meminta kepada majelis hakim yang menangani perkara a quo, untuk tidak mempertimbangkan tuntutan JPU atau bahkan mengabaikannya, seraya memberikan putusan yang berkeadilan kepada korban dan masyarakat demi tegaknya hukum kerana tindakan para terdakwa diduga telah melanggar Undang-undang Dasar RI tahun 1945 dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28A UUD 1945 Jo Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Jo Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torturead Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia).

Demikian rilis ini dibuat dengan maksud dipergunakan sebagai bahan pemberitaan yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mematuhi hukum dan menjunjung tinggi serta menghormati Hak Asasi Manusia.

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H. (0821-6373-6197)
ALMA A’ DI, S.H. (0812-6580-6978

Release Press Nomor:317/LBH/RP/XI/2022 LBH Medan “Kota Medan Butuh Infrastruktur Yang Menyelesaikan Masalah Masyarakat, Bukan Semata-Mata Mempercantik Kota”

 

LBH Medan, Rabu 8 November 2022, LBH Medan menyayangkan rehabilitasi jembatan Jalan Raden Saleh Kecamatan Medan Barat dan pembanguanan Gapura perbatasan Kota Medan yang saat ini sedang dikerjakan Pemko Medan melalui Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan. Proyek jembatan dan pembanguanan Gapura perbatasan Kota Medan yang berjalan saat ini menurut LBH Medan tidak tepat dan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Dimana seharusnya Walikota Medan lebih memproritasakan kemaslahatan masyarakat dengan cara memperbaiki jalan-jalan yang masih banyak rusak dan memperbaiki drainase dll, guna mencegah terjadinya banjir dan masalah masyarakat kota medan lainya.

Diketahui rehabilitasi Jembatan Jalan Raden Saleh Kecamatan Medan Barat dan Gapura perbatasan Kota Medan Jalan Jamin Ginting/Tuntungan memakan biaya yang fantantis yaitu sebesar 1.031.031.000 (Satu Miliyar Tiga Puluh Satu Juta Tiga Puluh Satu Rupiah) dan 2,4 Miliar Rupiah.

Parahnya jembatan Raden Saleh diketahui masih baru atau telah beberapa kali direhabilitasi dan sangat kokoh namun tanpa alasan yang jelas direhabilitasi kembali.Hal ini patut menimbulkan kecurigaan masayarakat, Apakah rehabilitasi tersebut dibutuhkan atau diduga hanya sekedar menghabiskan anggaran?

LBH Medan menilai pembanguan tersebut saat ini tidak dibutuhkan karena tidak berdampak terhadap kemaslahatan masyarakat kota Medan dan hanya sekedar mempercantik kota, tidak hanya itu Rehabilitasi Jembatan dan Gapura tidak mencerminkan pembangunan yang berkeadilan.

Bukan tanpa alasan berdasarkan informasi yang didapat LBH Medan saat ini masyarakat di jalan Salam, kelurahan Harjosari II, kecamatan Medan Amplas diketahui selalu tergenang air dan parit yang rusak bahkan terabaikan, padahal sudah beberapa kali masuk proses musrenbang tingkat kelurahan maupun kecamatan dan sudah berulang kali pula pihak dari Pemko Medan melalui dinas terkait (PU) melakukan survei lokasi.

Namun usulan tersebut tidak terealisasi dengan berbagai alasan teknis. Hal ini jelas membuat miris masyarakat, bukannya mengutamakan keluhan masyarakat malah mempercantik kota. Seharusnya sebagaimana amanat Undang-undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berasaskan keadilan, disebutkan bahwa pembangunan harus berkeadilan dan kepatutan.

Oleh karena itu LBH Medan menilai jika rehabilitasi jembatan Raden Saleh dan Gapura perbatasan Medan-Deliserdang tidak mencerminkan keadilan dan kepatutan, yang mana seyogiyanya Walikota Medan melalui Dinas PU lebih memproritaskan kebutuhan dan keluhan masyarakat sebagai contoh masyarakat jalan selam.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) secara tegas meminta Walikota Medan untuk menggunakan APBD semata-mata untuk kemaslahatan masyarakat Kota Medan, bukan cuma mempercantik kota yang pada prinsipnya tidak diperlukan masyarakat dan diketahui saat ini Medan juga tidak dalam mengikuti kontes kecantikan kota.

Oleh karenanya dewasa ini yang dibutuhkan masyarakat adalah infrastruktur yang mampu menyelesaikan masalah masyarakat diantarannya banjir, jalan berlubang, macat, polusi, sampah, kemiskinan dan dapat menunjang kesejahteraan serta keaman masyarakat kota Medan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 jo Pasal 9 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Demikian rilis ini dibuat dengan maksud dipergunakan sebagai bahan pemberitaan yang atas perhatiannya diucapkan terimakasih..

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H. (0821-6373-6197)
BAGUS SATRIO, S.H. (0857-6250-9653)

Restitusi 4 (Empat) Terdakwa Kasus Dugaan Kekerasan/Penyiksaan Kerangkeng Manusia di Langkat Tidak Menghapus Pidana

RELEASE PERS
Nomor:314/LBH/RP/XI/2022

Kamis, 03 November 2022 sidang terhadap 4 (empat) Terdakwa berinisial DP, HS, IS dan HS dengan Register Perkara Nomor: 467/Pidb.B/2022/PN.Mdn dan 468/Pid.B/2022/PN.Mdn atas dugaan tindak pidana kekerasan/penyiksaan di kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Non-aktif Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP) yang mengakibatkan SG dan ASI (korban) meninggal dunia memasuki sidang pembacaan permohonan restitusi yang dimohonkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap keluarga korban/ahli warisnya.

Dalam sidang tersebut ketua majelis hakim perkara a quo Halida Rahardhini SH.,M.Hum menyampaikan surat permohonan restitusi yang diajukan LPSK melalui Kejaksaan Negeri Langkat atas meninggalnya para korban telah dilaksanakan Terdakwa melalui penasehat hukumnya.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Permohonan restitusi diajukan LPSK melalui Kejaksaan Negeri Langkat kepada Pengadilan Negeri Stabat cq Majelis Hakim, akhirnya terpenuhi.

Adapun restitusi tersebut diberikan Para Terdakwa melalui Penasehat Hukumnya sebesar Rp. 530.000.000,- (lima Ratus Tiga Puluh Juta Rupiah) guna pemulihan/tunjangan kematian terhadap ahli waris Para Korban yang masing-masing mendapatkan uang sebesar Rp. 265.000.000,- (dua ratus enam puluh lima juta rupiah).

Diketahui 4 (empat ) Terdakwa DP, HS, IS dan HS sebelumnya didakwakan telah melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 12 Tahun atau selama-lamnya 7 tahun penjara. Oleh karena itu LBH Medan menilai pemberian restitusi terhadap ahli waris sesungguhnya tidak menghapus pidana yang dilakukan para Terdakwa. Restitusi tersebut merupakan salah satu alasan JPU maupun hakim untuk mempertimbangkan keringanan hukuman terhadap para Terdakwa.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) mengecam keras tindak kekerasan/penyiksaan yang diduga dilakukan para Terdakwa dan secara tegas meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim yang menangani perkaa a quo tidak terpaku pada restitusi yang telah dilakukan para Terdakwa, terkhusus kepada JPU Kejaksaan Negeri langkat yang diketahui dalam agenda sidang selajutnya pada tanggal 9 November 2022 akan menyampaikan tuntutanya kepada majelis hakim.

Terkait hal tersebut LBH Medan meminta agar JPU tidak ujuk-ujuk menuntut para Terdakwa dengan tuntutan yang ringan/diskon hukuman meskipun telah dilakukannya restitusi. LBH Medan meminta JPU untuk tetap objektif dalam melakukan penuntutan, karena jika tuntutanya itu ringan atau bahakan sangat ringan maka secara tidak langsung telah mencederai keadilan bagi masyarakat yang notabenenya mengetahui perkara a quo dan akan berdampak kepada kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Negeri Langkat dalam melakukan penegakan hukum.

Tuntutan yang objektif dari JPU dapat memberikan efek jera kepada para terdakwa dan menunjukkan komitmen atau keseriusan negara dalam menindak tegas para pelaku tindak pidana kekerasan/penyiksaan di Indoneseia. Karena sesungguhnya praktik-praktik kekerasaan/penyiksaan dikecam seluruh lapisan masyarakat dunia. Serta begitu juga nantinya putusan pengadilan harus mengedepankan keadilan di masyarakat.

LBH Medan menduga tindak pidana kekerasan/penyiksaan yang terjadi di kerangkeng manusia milik bupati langkat non aktif TRP telah melanggar Undang-undang Dasar RI tahun 1945 dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28A UUD 1945 Jo Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Jo Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang intinya menjelaskan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya, berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam yang tidak manusiawi, berhak untuk bebas dari penghilangan nyawa secara paksa yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta telah melanggar UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torturead Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia).

Demikian rilis ini dibuat dengan maksud dipergunakan sebagai bahan pemberitaan yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mematuhi hukum dan menjunjung tinggi serta menghormati Hak Asasi Manusia.

Narahubung :
IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H. (0821-6373-6197)
ALMA A’ DI, S.H. (0812-6580-6978)

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 310/LBH/RP/X/2022 “LBH MEDAN BUKA POSKO PENGADUAN KEKERASAN SEKSUAL DI INSTANSI PUBLIK DAN SWASTA”

 

 (Lembaga Bantuan Hukum Medan, 28 Oktober 2022). Seorang pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) berinisial N mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh sesama rekan kerjanya.  Kasus ini terjadi pada bulan Desember 2019 saat dalam rangkaian kegiatan rapat Kemenkop UKM di sebuah hotel. Saat itu, korban diduga dicekoki minuman keras sebelum diperkosa oleh empat orang. Tiga hari setelah kejadian, korban akhirnya berani untuk mengungkapkan kejadiannya kepada keluarga dan melaporkan ke Kepolisian Resor Kota Bogor.

Keempat pelaku akhirnya ditangkap namun dua orang yang menjaga pintu saat pemerkosaan terjadi tidak ditangkap. Saat proses penyidikan, N dan keluarga mendapat intimidasi dari keluarga pelaku yang meminta korban melepaskan pelaku. Korban juga mendapat tekanan di kantor bahkan hingga didatangi pejabat Kemenkop UKM. Puncaknya korban dipaksa menikah dengan salah satu pelaku yang berinisial ZP. Pernikahan juga didorong dan difasilitasi oleh Kepolisian Resor Kota Bogor hingga akhirnya dilaksanakan tanggal 12 Maret 2020 saat pelaku masih ditahan. Kemudian atas dasar pernikahan tersebut seluruh pelaku dilepaskan.

Dua terduga pelaku berinisial MF dan NN yang masih berstatus honorer sudah dipecat sejak 2020. Dua pelaku lainnya WH dan ZP yang berstatus PNS dan CPNS hanya diturunkan jabatannya dan masih bekerja di lingkungan Kemenkop UKM. Bahkan ZP dikabarkan mendapat beasiswa dari Kemenkop UKM. Setelah pernikahan, ZP hanya sesekali datang ke rumah dan N hanya dinafkahi Rp300.000 per bulan. Terbaru Z mengajukan perceraian dengan alasan ketidakharmonisan. Keluarga menduga pernikahan dilakukan hanya intrik pelaku agar dilepaskan dari tuntutan hukum.

Kasus ini menambah semakin banyaknya catatan buruk kasus kekerasan seksual khususnya yang dilakukan oleh pejabat di instansi pemerintahan. Beberapa waktu lalu juga terungkap kekerasan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh 8 pegawai Komisi Penyebaran Indonesia (KPI) terhadap salah satu rekan kerjanya. Kekerasan yang dilakukan berlangsung lama dan terdapat beberapa korban namun tidak berani melapor.

Pada 2019 lalu, kekerasan seksual juga pernah dialami staf Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berinisial RA yang dilakukan oleh atasannya. Pada 2016, seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya. Lalu pada 2014 seorang pegawai di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA juga melapor telah mengalami pelecehan seksual oleh general manager.

Kekerasan seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Padahal seyogyanya setiap manusia berhak untuk hidup, mengembangkan diri, bekerja dengan aman serta bebas dari segala praktik diskriminasi dan kekerasan sebagaimana diatur dalam konvensi Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi pada 24 Juli 1984 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 G Ayat mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan mendorong penghapusan berbagai praktik kekerasan seksual mengecam segala bentuk kejahatan dan kekerasan seksual. Para pejabat dan pegawai di berbagai intansi khususnya pemerintahan seharusnya menjadi pengayom dan pelindung. Sehingga LBH Medan menuntut agar pemerintah mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk menghapus kekerasan seksual dan mewujudkan ruang aman di negara Indonesia, membentuk satuan tugas independen, menindak tegas pelaku kekerasan dan memberikan bantuan pemulihan pada korban.

LBH Medan juga meminta instansi-instansi baik publik maupun swasta untuk membentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Sebagai langkah konkrit untuk mengentaskan segala bentuk kekerasan, LBH Medan membuka posko pengaduan dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di instansi publik termasuk pemerintahan dan instansi swasta. LBH Medan juga mengajak segenap pihak untuk bersama-sama memberikan bantuan dukungan bagi korban agar memiliki keberanian mengungkapkan kebenaran, melaporkan dan melawan segala praktik kekerasan seksual.

 

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

 

RILIS PERS LBH MEDAN Nomor : 310/LBH/RP/X/2022 “ANAK ANGKAT DIPERBUDAK, HUKUM HARUS BERTINDAK”

 

 (Lembaga Bantuan Hukum Medan, 26 Oktober 2022). Kasus perbudakan anak di bawah umur terjadi di toko Dora, Jalan MJ Sutoyo, Kelurahan Satria, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebingtinggi. Dua orang kakak beradik berinisial RMS (17) dan SPM (10) diduga menjadi korban perbudakan anak oleh Dora Silalahi. Kedua anak di bawah umur berasal dari Sibolga dan dijadikan anak angkat oleh Dora Silalahi. Namun selama menetap di sana, mereka dipekerjakan sebagai pelayan toko yang menjual rokok dan minuman keras hingga larut malam tanpa digaji.

Peristiwa miris ini terbongkar melalui laporan dan video seorang petugas PJKA Tebingtinggi yang melihat RMS dikurung dalam sebuah ruangan berterali besi di lantai dua rumah Dora. Anak tersebut memberi pengakuan jika dia dan saudaranya disekap dalam kondisi kelaparan dan hanya diberi makan dua kali sehari. Keduanya menjadi korban perbudakan selama bertahun-tahun dan kerap mengalami kekerasan.

Saat ditemui oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kota Tebingtinggi keduanya terlihat kekurangan nutrisi dengan badan kurus sebab jarang diberi makan oleh Dora, pakaian compang camping seperti tidak terurus . Pada bagian belakang badan korban ditemukan bekas luka seperti dicakar cakar dan dipukul benda keras.

Setiap manusia termasuk anak berhak hidup secara layak, mendapatkan perlindungan dan terpenuhi Hak Asasi Manusianya tanpa diskriminasi sebagaimana dilindungi dalam Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Hak-hak anak secara khusus diatur juga dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) dimana dalam Pasal 6 dan Pasal 19 mengatur secara tegas bahwa semua anak berhak atas kehidupan. Tiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian. Pemerintah perlu memastikan bahwa anak bisa bertahan hidup dan tumbuh dengan sehat.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara spesifik yang berkaitan dengan Hak Asasi Anak yang terdapat dalam Pasal 28B Ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain itu, beberapa peraturan perundang-undangan lain sudah mulai diciptakan dengan tujuan untuk mewujudkan perlindungan dan penegakan hak anak seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak.

LBH Medan sebagai lembaga yang turut memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia dan perlindungan anak mengutuk keras segala bentuk kejahatan dan kekerasan terhadap anak. Sehingga LBH Medan menuntut agar pemerintah bertanggung jawab, mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan perlindungan,  mewujudkan hak-hak anak, menghapus segala praktik kekerasan terhadap anak dan mewujudkan ruang kehidupan yang aman bagi anak di negara Indonesia, menindak tegas pelaku kekerasan serta memberikan bantuan pemulihan pada anak yang menjadi korban.

 

Penulis dan Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

 

Adakah Standar Ganda Penggunaan Kewenangan Dalam Proses Penyelidikan/Penyidikan di Kepolisian?

RELEASE PRESS

Nomor : 309/LBH/RP/X/2022

Adakah Standar Ganda Penggunaan Kewenangan Dalam Proses Penyelidikan/Penyidikan di Kepolisian?(LBH Medan, Kamis, 27 Oktober 2022). Pada tanggal 21 Oktober 2022, LBH Medan menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tema “Adakah Standar Ganda Pengunaan Kewenangan Dalam Proses Penyelidikan/Penyidikan di Kepolisian?”. Diskusi Publik ini dilaksanakan secara online melalui Zoom Meeting, dengan menghadirkan beberapa narasumber diantaranya Sugeng Teguh Santoso, S.H. selaku Ketua Indonesia Police Watch (IPW), AKBP. Rakhman Anthero Purba, S.H., M.H. (Bidang Hukum Polda Sumut), Maswan Tambak, S.H. (Kepala Bidang Sipil & Politik LBH Medan), dan Hariadi (Korban Penembakan/Refleksi Kasus 7 Tahun Pelaporan yang diduga undue delay di Polda Sumut).

Adapun yang menjadi acuan sebagai pengantar dalam penyelenggaraan Diskusi Publik ini yaitu pasca 24 Tahun Reformasi yang diharapkan dapat memberikan terobosan baru dalam perubahan sistem khususnya di bidang penegakan hukum, dimana pembaharuan itu dengan melakukan pemisahan Dwi Fungsi Abri yaitu TNI dan Polri yang diharapkan agar memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. LBH Medan sendiri yang merupakan salah satu lembaga inisiator pada saat itu juga mendorong agar dilakukannya perubahan tersebut, terkhusus untuk instansi Polri agar benar-benar melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Penegak Hukum.

Kemudian pasca pemisahan Dwi Fungsi Abri tersebut, di tubuh Polri khususnya telah silih berganti tonggak kepemimpinan dengan berbagai jargon/slogannya untuk memicu semangat penegakan hukum di tingkat Kepolisian, dimana saat ini Polri yang dipimpin oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang resmi menjabat sejak tanggal 27 Januari 2021, menawarkan sebuah slogan/jargon “Presisi” yang merupakan akronim dari Prediktif, Responsibilitas & Transparansi Berkeadilan. Bahkan Kapolri juga pernah menegaskan kalau “Tak Mampu Bersihkan Ekor, Kepalanya Akan Saya Potong”. Pertanyaannya apakah jargon/slogan dan pernyataan tegas Kapolri itu benar-benar mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat?

Berdasarkan data LBH Medan ada 13 kasus di wilayah hukum Polda Sumut yang diduga terkendala dan tidak sesuai prosedur penangannya, diantaranya dalam refleksi kasus Hariadi seorang tukang becak yang merupakan Korban Penembakan OTK di Jl. Iskandar Muda Simp. Syailendra Kota Medan pada tanggal 22 November 2015, sampai saat ini belum memperoleh keadilan sebab Pelaku belum juga ditemukan oleh pihak Kepolisian, pasca 7 tahun Hariadi & Kakak Kandungnya Dewi Hartati membuat Laporan Polisi di Polsek Medan Baru pada 22 November 2015 lalu, hingga pada 03 Agustus 2021 LBH Medan meminta Polda Sumut untuk mengambil alih penanganan perkaranya namun hingga saat ini tidak ada tindaklanjut dari Polda Sumut.

Menariknya, dalam kasus terhadap kader PDIP Prov. Sumut a.n Halfian Sembiring yang diduga memukul remaja pelajar SMA inisial FL di sebuah minimarket di Medan Johor pada 16 Desember 2021 lalu, yang mana saat itu kasus tersebut awalnya ditangani oleh Polrestabes Medan, dikarenakan banyaknya perhatian publik yang menyebabkan kasus tersebut viral, pada tanggal 27 Desember 2021 pihak Polda Sumut mengambil-alih penanganan perkaranya.

Melihat fakta tersebut, sangat miris ketika masyarakat miskin yang harus berhadapan dengan hukum, pihak Kepolisian terkesan tidak serius dalam penanganannya, dan ketika seseorang yang diduga memiliki relasi kuasa yang berhadapan dengan hukum, pihak Kepolisian terkesan secepat kilat untuk memproses perkaranya. Padahal idealnya pihak Kepolisian sebagai aparat penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menangani perkara demi keadilan terhadap seluruh masyarakat.

AKBP. Rakhman Anthero Purba, S.H., M.H. (Bidang Hukum Polda Sumut)

Menyikapi fakta yang menjadi acuan Diskusi Publik tersebut, AKBP. Rakhman Anthero Purba, S.H., M.H. (Bidang Hukum Polda Sumut) sebagai narasumber pertama menjelaskan untuk standar ganda dalam penanganan perkara pihak Kepolisian dalam implementasinya melibatkan pihak internal Polri untuk mengambil keputusan dalam penanganan perkara. Dan pihak Polda Sumut melakukan manajemen penanganan kasus yang memposisikan tingkat kesulitannya dan  mulai dari perkara yang mudah, sedang, sulit dan sangat sulit, bahkan terkadang menggunakan metode Restorative Justice demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak.

Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Ketua Indonesia Police Watch (IPW))

Kemudian Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Ketua IPW) selaku narasumber kedua membantah dengan menjelaskan secara tegas dan lugas tidak ada standar ganda dalam penanganan perkara di Kepolisian, karena dalam penegakan hukumnya harus Pro Justicia agar memberikan kepastian hukum terutama di tingkat penyelidikan/penyidikan. Dan Sugeng juga memberikan masukan agar pihak Polri harus berintegritas dalam menjalankan tugasnya dan mengajak para Pengacara dalam menjalankan profesinya harus profesional dan tidak bermain dengan oknum Kepolisian.

Maswan Tambak, S.H. (Kepala Bidang Sipil & Politik LBH Medan)

Selanjutnya Maswan Tambak, S.H (Kadiv Sipol LBH Medan) sebagai narasumber ketiga juga mengatakan seharusnya tidak ada standar ganda yang dilakukan oleh Kepolisian dalam menangani perkara, karena hal tersebut tidak ada diatur dalam peraturan manapun. Dan apabila ada standar ganda dalam penanganan perkara dimungkinkan diduga akan terjadi pelanggaran hukum dan tidak terpenuhinya hak asasi seseorang ketika berhadapan dengan hukum. Maka tebang pilih kasus seharusnya tidak terjadi di tubuh Kepolisian.

Dalam kesimpulannya pada penutup diskusi, AKBP. Rakhman Anthero Purba, S.H., M.H. (Bidang Hukum Polda Sumut) menyatakan bersedia dan berjanji untuk membantu dan menindaklanjuti beberapa data dan kasus yang dipaparkan dalam diskusi tersebut, sebagai bentuk kepedulian Polri dalam melayani masyarakat.

Demikian Release Press ini disampaikan, agar kiranya Release Press ini dapat digunakan sebagai sumber pemberitaan. Terimakasih.

Contact Person :

Maswan Tambak, S.H.                               (0895-1781-5588)

Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H.     (0823-8527-8480)