Pos

Kebebasan Berekspresi Bagian Dari Demokrasi

kebebasan berekspresi

Pandangan Awal Kebebasan Berekspresi

LBH Medan, Artikel – Negara demokrasi merupakan Negara yang melindungi serta menjamin hak-hak masyarakat atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal yang sering terjadi dan memicu timbulnya sebuah konflik dalam kehidupan yang berawal dari kekeliruan dalam memahami sebuah kata “memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat atau menyampaikan pendapat” karena sejatinya setiap manusia bebas untuk mengutarakan pendapat dan berekspresi di muka umum.

Banyaknya kasus yang terjadi berawal dari bentuk sebuah protes dan berujung pada tindakan kekerasan, kerusuhan bahkan tindakan pidana. Sudah saatnya kita sadar akan aturan dan tata tertib hukum yang mengatur perilaku maupun tindakan kita. Bukankah kita merupakan salah satu bagian dari dunia ini yang menerapkan pilar demokrasi.

Secara harfiah kebebasan berpendapat menurut kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata bebas/kebebasan yang memiliki arti suatu keadaan bebas atau kemerdekaan, sedangkan pendapat/berpendapat berarti ide atau gagasan seseorang tentang sesuatu, maka kebebasan berpendapat merupakan suatu kemerdekaan bagi seseorang untuk mengeluarkan ide atau gagasan yang dimilikinya dan hal tersebut merupakan hak setiap orang.

Sebuah syarat adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, merupakan persyaratan yang mutlak dan yang harus dimiliki oleh suatu negara demokrasi. Kebebasan ini harus dijamin pula di dalam Undang-undang negara yang bersangkutan. Undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat itu harus dengan tegas menyatakan adanya kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam rangka kebebasan menyampaikan pendapat tersebut, maka setiap orang berhak mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkannya, sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya.

Dibalik   itu   harus   pula   ada   ketentuan Undang-undang   yang melarang  siapapun,  termasuk pemerintah  yang  ingin  mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan tersebut. Maksudnya adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan.

Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas. Kebebasan berekspresi tidak hanya penting bagi martabat individu, tetapi juga untuk demokrasi itu sendiri.

Pendapat Tokoh

(Dokumentasi dari https://en.wikipedia.org/wiki/John_Locke)

Matinya sebuah demokrasi ditandai dengan rakyat sudah tidak boleh lagi berbicara atau mengeluarkan pendapat. Padahal sebuah Negara harus memenuhi kriteria demokrasi, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama.

John Locke mengemukakan bahwa kebebasan bereskpresi dan berpendapat adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi kita atas fakta dan nilai.

(Dokumentasi dari : https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill#/media/Berkas:John_Stuart_Mill_by_London_Stereoscopic_Company,_c1870.jpg)

Sementara John Stuart Mill mengatakan, kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Mengapa demikian? sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan dalam mengontrol dan menilai setiap warga negara seharusnya bisa mengakses semua informasi yang diperlukan tentang pemerintah yang bersifat transparansi.

Tidak hanya sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan kemudian dapat di diskusikan di forum formal maupun non formal. Berdasarkan dari teori tersebut, kebebasan bereskpresi dan berpendapat kemudian menjadi sebuah klaim untuk mengkritisi penguasa yang melarang ataupun menghambat pelaksanaan dalam kebebasan berekspresi.

(Dokumentasi dari : https://en.wikipedia.org/wiki/Frank_William_La_Rue#/media/File:Frank_La_Rue_01.jpg)

Frank La Rue mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif, yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat.

Kebebasan berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi.

Landasan Hukum

(Dokumentasi dari : https://gls.gm/)

Kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, karena kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.

Kaitan kebebasan bereskpresi dengan demokrasi yang kemudian  diakui  dalam  hukum  internasional hak  asasi  manusia yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18 dan 19 yang juga terdapat di Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  12  Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang  menyatakan bahwa   kebebasan   berekspresi   merupakan   pra-syarat bagi perwujudan   prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan  hak  asasi  manusia.

Kebebasan  bereskpresi  juga  menjadi  pintu  bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih seperti yang tertuang didalam paragraph 3-4 Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik.

Pondasi utama dalam menentukan batasan konsep dan cakupan jaminan hak atas kebebasan berekspresi dikemukakan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tahun 1948, yang menegaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.

Ketentuan tersebut selanjutnya dielaborasi dan ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, yang secara detail dan rigid merumuskannya sebagai berikut; Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan, Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya, Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.

Oleh karena itu, hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk; menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

Berdasarkan Komite Hak Asasi Manusia menekankan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan pada dasarnya adalah melindungi semua bentuk gagasan subjektif dan opini yang dapat diberikan/sebarkan kepada orang lain. Sementara dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik kebebasan berpendapat dikatakan sebagai urusan pribadi yang terkait dengan alam pemikiran yang sifatnya mutlak, tak boleh dibatasi oleh hukum atau kekuatan lainnya.

Sesungguhnya hak untuk berpendapat tumpang tindih dengan kebebasan berpikir, yang dijamin Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpikir berkontribusi dalam kebebasan beropini, dimana pendapat adalah hasil dari proses pemikiran mengenai tentang cakupan perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan, dalam Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (paragraf 9 dan 12) menyebutkan:

... Semua bentuk opini dilindungi, termasuk pendapat yang bersifat politik, ilmiah, sejarah,  moral atau  agama.  ….Pelecehan,  intimidasi  atau  stigmatisasi  seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, mengadili atau memenjarakan karena alasan pendapat mereka, merupakan pelanggaran Pasal 19 ayat (1)”.

“… melindungi semua bentuk ekspresi dan cara penyebarannya. Bentuk-bentuk tersebut termasuk lisan, tulisan dan bahasa simbol serta ekspresi non-verbal semacam gambar dan bentuk-bentuk seni. Alat ekspresi termasuk buku, surat kabar, pamflet, poster, banner, pakaian serta submisi hukum. Dalam hal ini juga termasuk semua bentuk audio visual juga ekspresi elektronik dan bentuk-bentuk internet…”.

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen juga telah secara tegas memberikan jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara, yang dapat diidentifikasi dalam beberapa pasal berikut ini Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28 E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28 F “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Selain itu kalau kita melihat dari mandat konstitusional tersebut selanjutnya diatur lebih jauh dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kebebasan  berekspresi dan menyampaikan pendapat, salah satunya melalui Pasal 1 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan bahwa, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Jaminan tersebut berlaku bagi setiap warga negara, untuk bebas menyampaikan pendapatnya baik secara lisan, tulisan, dan  sebagainya,  sebagaimana ditegaskan  Pasal 2 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan, “setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Penegasan serupa juga mengemukan di dalam Pasal 23 ayat (2)   Undang-Undang  No.  39  Tahun  1999  tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.

Harapan Besar

(Dokumentasi dari : https://plus.kapanlagi.com/60-kata-harapan-dari-para-tokoh-terkenal-yang-bijak-bisa-jadi-nasihat-mendalam-b2f524.html)

Dan pada akhirnya ruang lingkup dan batasan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat setidaknya mencakup tiga jenis ekpresi yaitu: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk menerima informasi,  kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat juga melindungi semua informasi atau ide apapun termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau pun ide/gagasan.

Jadi termasuk gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, berita atau pun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis dan lain-lain. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi baik lisan, tertulis, cetak, media seni serta mediaapa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, spanduk dan lain-lain, termasuk kebebasan untuk melintas batas negara.

Secara yuridis kebebasan berekspresi telah di jamin oleh undang-undang, karena hal ini merupakan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi oleh negara dan demi untuk kemajuan bangsa itu sendiri dan juga kebebasan berekspresi dalam demokrasi sangat diperlukan sebagai bentuk kotrol masyarakat terhadap pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Bahwa kebebasan berekspresi ditegaskan sebagai kebebasan dasar yang paling penting bagi martabat individu untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi. Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi karena demokrasi tidak berjalan tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi.

Dalam perjalanan demokrasi yang paling baik ditandai dengan adanya upaya untuk mendorng terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial, karena hal ini merupakan sebuah hak yang fundamental bagi setiap manusia yang harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar, dan apabila dilanggar maka hal tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis : Hidayat Chaniago, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

Kapolda Sumut & Kapolrestabes Medan Harus Usut Kematian Tahanan

LBH Medan Desak Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan usut tuntas tewasnya Hendra Syahputra yang diduga disiksa oleh oknum Polisi.

LBH Medan, Press Release – LBH Medan Desak Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan usut tuntas tewasnya Hendra Syahputra yang diduga disiksa oleh oknum Polisi.

Persidangan dugaan tindak pidana Penyiksaan yang dialami Hendra Syahpurta (Korban) sangat mengejutkan dan membuka tabir baru apa yang sebenarnya dialami Korban. Sidang yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Medan ruang Cakra 8 sangat mengejutkan masyarakat khususnya kota Medan.

Dalam sidang dakwaan yang dibacakan oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Medan menjelaskan adanya dugaan keterlibatan anggota kepolisian a.n L S terkait Penyiksaaan yang dialami Hendra Syahputra, sehingga mengakibatkan meninggalnya korban dengan keadaan Tengkorak Kepala Retak.

Bukan hanya disiksa, parahnya korban dipaksa Masturbasi pakai balsem serta mengalami pemerasan oleh sesama tahanan yang diduga atas perintah L S yang notabenenya merupakan penjaga RTP (Rumah Tahanan Polisi) Polrestabes Medan. Dalam dakwaan JPU a.n Pantun Marojahan Simbolon terugkap jika Hendra Syahputra dipaksa oleh tahanan bernama Rizki untuk masturbasi pakai balsem.

Menyikapi penyiksaan yang sangat keji yang dialami oleh Hendra Syahputa, LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia mendesak Kapolda Sumut & Kapolrestabes Medan untuk mengatensi dan mengusut tuntas perkara a quo, dikarenakan bukan kali ini saja adanya keterlibatan anggota Kepolisian dalam dugaan Penyiksaan terhadap Tahanan.

Masih segar diingatan kita masyarakat Sumatera Utara khususnya kota Langkat terkait Penyiksaan yang diduga dilakukan oleh Bupati Langkat, dkk juga diduga adanya keterlibatan anggota Kepolisian. Hal ini menggambarkan banyak dugaan keterlibatan anggota Kepolisian dalam praktik Penyiksaan di Sumatera Utara, sehingga hal ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kapoldasu.

LBH Medan meminta kepada Kapolda Sumut dan Kapolrestabes Medan untuk menindak tegas terhadap oknum Kepolisian yang diduga terlibat dalam Penyiksaan Hendra Syahputra. Hal ini guna membuktikan adanya tanggung jawab hukum dan moral yang seyogyanya dilakukan Kapoldasu dan Kapolrestabes Medan. Seraya menghindari prespektif negatif masyarkat terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia.

LBH Medan menduga tindak pidana Penyiksaan tersebut telah melanggar UUD 1945 Pasal 28 A, 28 I, KUHP Pasal 351 ayat (3), UU 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4, UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Covention Againt Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment on Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H. (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/LBH-Medan-Sarankan-Penerapan–ldquo-Restorative-Justice-rdquo–Diatur-Setingkat-Undang-Undang

101 HARI HASIL EKSHUMASI BEDAH MAYAT TAHANAN POLSEK SUNGGAL

https://lbhmedan.org/101-hari-hasil-ekshumasi-bedah-mayat-namun-tidak-mengungkap-penyebab-kematian-alm-joko-dedi-kurniawan/

Pendekatan Restorative Justice Untuk Pria Yang Ancam Bobby

Restorative JusticeLBH Medan, Press Release – Pihak Kepolisian seharusnya bisa menyelesaikan dengan pendekatan Restorative Justice terhadap Pria yang ancam patahkan leher Bobby.

Diketahui Pria 27 tahun yang berinisial RP berasal dari Takengon Kabupaten Aceh pada saat itu ingin memarkirkan kendaraan roda empat (mobil), diduga belum sempat parkir atau baru berhenti, diduga tiba-tiba juru parkir langsung datang sambil memasukkan tangannya kedalam mobil, lalu juru parkir minta RP bayar uang parkir lewat E-Parking, namun RP tidak mau membayar menggunakan E-Toll dan hanya mau bayar cash karena khawatir saldo E-Tollnya terkuras.

Video yang berdurasi lebih kurang 1 (satu) menit tersebut awalnya diduga mengancam Bobby Afif Nasution (Wali Kota Medan) dan petugas parkir yang bertugas dengan menyebutkan “Kau panggil pak bobby itu kemari biar kupatahkan batang lehar pak bobby itu sekalian, mau kau. atau kau ja kupatahakan batang leherkau mau kau”.

Terkait adannya video tersebut pihak Polrestabes Medan telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap RP. Namun dalam keterangnya Kapolrestabes Medan mengatakan jika RP ditangkap dan ditahan bukan karena pengancaman terhadap Bobby. hal yang sama juga disampaikan Bobby Nasution melalui akun Instagramnya“bobbynst”.

Adapun penangkapan yang dilakukan terhadap RP karena adanya penganiayaan terhadap pertugas parkir yang mengalami luka, diduga tangannya dijepit dan terseret mobil RP.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menilai jika pihak kepolisan dalam hal ini Polrestabes Medan tidak perlu melakukan penahanan terhadap RP dan meminta perkara ini diselesaikan dengan cara keadilan Restoratif Justice yang regulasinya juga telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

LBH Medan menilai apa yang dilakukan RP terhadap petugas parkir merupakan dugaan tindak pidana penganiyaan ringan sebagai mana yang diatur dalam Pasal 352 KUHPidana yang menyatakan “ Penganiayan yang tidak membuat terhalangnya korban melakukan aktivitas (Kegiatanya sehari-hari)” hal ini dapat dilihat diduga adanya video petugas parkir yang masih bisa diwawancari pers pasca kejadian tersebut.

LBH Medan menilai dengan adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative, Maka pihak kepolisian bisa menyelesakan permasalahan a quo dengan pendekatan Keadilan Restorative Justice, Bukan melalui pendekatan Pidana.

Kerena didalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya asas Ultimum Remedium yang artinya Pemidanan Merupakan Upaya hukum terakhir. Dewasa ini, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) diketahui sedang gencar-gencarnya menerapkan Restorative Justice yang ditandai dengan lahirnya aturan yang mengatur hal tersebut yaitu MA RI berdasarkan SK Dirjen Badilum MA RI No. 1691/DJU/SKP/PS.00/12/2020, PERJA No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan di Kepolisian ditandai dengan adanya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ditambah lagi RP telah meminta maaf terkhusus kepada Petugas Parkir dan Bobby Nasution ketika konprensi pers yang saat itu ada Walikota Medan.

LBH Medan mendukung program Bobby Nasution dalam pengutipan parkir dengan cara pembayaran melalui E-Parking, namun berkaca dengan kejadiaan ini patut dilakukan evaluasi terkait teknisnya dan adanya sosialisai yang gencar terhadap masyarakat. Sebagaimana diketahui berdasarkan keterang RP, dianya mau membayar secara Cash namun karena program tersebut tidak bisa Cash maka terjadi perselisihan.

Oleh karena itu LBH Medan meminta pihak pemko Medan dapat mencari solusi jika ada kejadian seperti ini. Misalnya dapat membayarkan melalu E-parking khusus yang dimilik petugas parkir ketika pengemudi tidak memilik E-toll agar kedepanya tidak terjadi hal yang sama.

LBH Medan juga meminta kepada pihak Kepolisian dalam hal ini, Polrestabes Medan agar dalam menjalankan tugasnya menerapkan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) dalam menanggapi laporan atau pengaduan dari masyarakat, Dalam artian, bahwa polisi tidak hanya merespon cepat laporan yang ketika laporan tersebut diduga melibatkan pejabat negara, namun sebaliknya ketika simiskin responnya diduga tidak sama.

Viralnya video yang memperlihatkan seorang pria berkacamata marah-marah kepada juru parkir elektronik (e- parking) di Kota Medan, tepatnya di Jalan Rahmadsyah, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Medan Kota.

Diketahui Pria 27 tahun yang berinisial RP berasal dari Takengon Kabupaten Aceh pada saat itu ingin memarkirkan kendaraan roda empat (mobil), diduga belum sempat parkir atau baru berhenti, diduga tiba-tiba juru parkir langsung datang sambil memasukkan tangannya kedalam mobil, lalu juru parkir minta RP bayar uang parkir lewat E-Parking, namun RP tidak mau membayar menggunakan E-Toll dan hanya mau bayar cash karena khawatir saldo E-Tollnya terkuras.

Video yang berdurasi lebih kurang 1 (satu) menit tersebut awalnya diduga mengancam Bobby Afif Nasution (Wali Kota Medan) dan petugas parkir yang bertugas dengan menyebutkan “Kau panggil pak bobby itu kemari biar kupatahkan batang lehar pak bobby itu sekalian, mau kau. atau kau ja kupatahakan batang leher kau mau kau”.

Terkait adannya video tersebut pihak Polrestabes Medan telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap RP. Namun dalam keterangnya Kapolrestabes Medan mengatakan jika RP ditangkap dan ditahan bukan karena pengancaman terhadap Bobby. hal yang sama juga disampaikan Bobby Nasution melalui akun Instagramnya“bobbynst”.

Adapun penangkapan yang dilakukan terhadap RP karena adanya penganiayaan terhadap pertugas parkir yang mengalami luka, diduga tangannya dijepit dan terseret mobil RP.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menilai jika pihak kepolisan dalam hal ini Polrestabes Medan tidak perlu melakukan penahanan terhadap RP dan meminta perkara ini diselesaikan dengan cara keadilan Restoratif Justice yang regulasinya juga telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

LBH Medan menilai apa yang dilakukan RP terhadap petugas parkir merupakan dugaan tindak pidana penganiyaan ringan sebagai mana yang diatur dalam Pasal 352 KUHPidana yang menyatakan “ Penganiayan yang tidak membuat terhalangnya korban melakukan aktivitas (Kegiatanya sehari-hari)” hal ini dapat dilihat diduga adanya video petugas parkir yang masih bisa diwawancari pers pasca kejadian tersebut.

LBH Medan menilai dengan adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative, Maka pihak kepolisian bisa menyelesakan permasalahan a quo dengan pendekatan Keadilan Restorative Justice, Bukan melalui pendekatan Pidana.

Kerena didalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya asas Ultimum Remidum yang artinya Pemidanan Merupakan Upaya hukum terakhir. Dewasa ini, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) diketahui sedang gencar-gencarnya menerapkan keadilan Keadilan Restorative Justice yang ditandai lahirnya aturan yang mengatur hal tersebut yaitu MA RI berdasarkan SK Dirjen Badilum MA RI No. 1691/DJU/SKP/PS.00/12/2020, PERJA No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan di Kepolisian ditandai dengan adanya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ditambah lagi RP telah meminta maaf terkhusus kepada Petugas Parkir dan Bobby Nasution ketika konprensi pers yang saat itu ada Walikota Medan.

LBH Medan mendungkung program bobby nasution dalam pengutipan parkir dengan cara pembayaran melalui E-Parking, namun berkaca dengan kejadiaan ini patut dilakukan evaluasi terkait teknisnya dan adanya sosialisai yang gencar terhadap masyarakat. Sebagaimana diketahui berdasarkan keterang RP, dianya mau membayar secara Cash namun karena program tersebut tidak bisa Cash maka terjadi perselisihan.

Oleh karena itu LBH Medan meminta pihak pemko Medan dapat mencari solusi jika ada kejadian seperti ini. Misalnya dapat membayarkan melalu E-parking khusus yang dimilik petugas parkir ketika pengemudi tidak memilik E-toll agar kedepanya tidak terjadi hal yang sama.

LBH Medan juga meminta kepada pihak Kepolisian dalam hal ini, Polrestabes Medan agar dalam menjankan tugasnya menerapkan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) dalam menanggapi laporan atau pengaduan dari masyarakat, Dalam artian, bahwa polisi tidak hanya merespon cepat laporan yang ketika laporan tersebut diduga melibatkan pejabat negara, namun sebaliknya ketika simiskin responnya diduga tidak sama.

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H. (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/LBH-Medan-Sarankan-Penerapan–ldquo-Restorative-Justice-rdquo–Diatur-Setingkat-Undang-Undang

101 HARI HASIL EKSHUMASI BEDAH MAYAT TAHANAN POLSEK SUNGGAL

https://lbhmedan.org/101-hari-hasil-ekshumasi-bedah-mayat-namun-tidak-mengungkap-penyebab-kematian-alm-joko-dedi-kurniawan/

PT SMGP Berulang Kali Kebocoran Gas, Izinnya Layak Dicabut

Kebocoran Gas PT SMGPLBH Medan, Press Release – Kebocoran gas PT SMGP kembali terjadi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Merapi pada tanggal 24 April 2022 sekitar pada pukul 09.30 Wib mengakibatkan 21 (dua puluh satu) warga menjadi korban dan dibawa ke RSUD Panyabungan karena terpapar gas semburan lumpur panas.

Ironinya peristiwa ini bukanlah pertama kali terjadi, bermula terjadi pada tanggal 25 Januari 2021 pada salah satu Wellpad milik PT SMGP di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Merapi yang menyebabkan 5 orang tewas 2 diantaranya anak-anak serta sekitar 49  warga dirawat di rumah sakit.

Kemudian peristiwa berikutnya terjadi pada tanggal 06 Maret 2022, kebocoran gas H2S dari salah satu sumur milik PT SMGP ini menyebabkan sekitar 58 warga harus dirawat karena mengalami mual, pusing, muntah hingga pingsan diduga karena keracunan dari gas H2S.

Akan tetapi sangat disayangkan atas 2 (dua) peristiwa kebocoran sumur gas sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Madina dan Polres Madina lebih memilih bertindak sebagai fasilitator agar terjadinya kesepakatan damai antara korban dengan PT SMGP yang harusnya memproses hukum atas adanya dugaan kelalaian dalam aktivitas pengeboran sumur panas bumi milik PT SMGP tersebut.

Padahal sebelumnya Kapolres Mandailing Natal AKBP Reza Chairul Akbar Siddiq telah menurunkan personilnya untuk melakukan langkah penyelidikan terhadap peristiwa kebocoran gas tersebut namun hingga saat ini tidak ada kejelasan penetapan Tersangkanya.

Peristiwa kebocoran sumur gas sebanyak 3 kali ini yang diduga akibat kelalaian atas aktivitas pengeboran sumur panas bumi oleh pihak perusahaan yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat.

Selain menyemburkan lumpur panas salah satu Wellpad Desa Maga Dolok yang menjadi titik eksplorasi PT SMGP juga diduga mencemarkan air sungai di Desa Maga Kab. Mandailing Natal yang merupakan salah satu sumber air yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Maga serta adanya Pembukaan lahan pengeboran sumur di Desa Huta Julu diduga telah mencemari pemandian air panas yang terletak di Desa Hutaraja.

LBH Medan menilai peristiwa ini kuat dugaan karena kelalaian PT SMGP yang terus berulang dan celakanya hingga saat ini belum ada tindakan tegas dari pihak Kepolisian dan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Pengabaian dampak serius bagi kemanusiaan dan lingkungan hidup dari kebocoran gas ini dapat dinilai dari sikap Forkopimda Mandailing Natal pada kebocoran pada tanggal 25 Januari 2021 yang memposisikan diri sebagai fasilitator agar terjadinya kesepakatan damai antara korban dengan PT SMGP ketimbang memproses hukum agar dilakukannya peninjauan kelayakan operasional dan/atau penutupan PT SMGP tersebut.

Dengan demikian dari sudut pandang LBH Medan peristiwa ini tidak hanya merupakan Kejahatan Lingkungan Hidup tapi juga Kejahatan Kemanusiaan.

LBH Medan juga menilai bahwa dengan tidak adanya kejelasan hasil Penyelidikan yang dilakukan oleh Polres Madina hingga saat ini menimbulkan kesan lemah dan dapat diintervensinya pihak Kepolisian dari pihak Pengusaha.

Sehingga patut dan wajar apabila Polda Sumut dan Polres Madina transparan dan bertanggung-jawab dalam kasus kejahatan lingkungan dan kemanusiaan ini oleh sebab salah satu instansi pemerintah yang berkewajiban melindungi hak masyarakat sebagaimana diamanatkan pada pasal 65 ayat (1) UU No 32 tahun 2009 Tentang PPLH dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 2009 Tentang HAM yang intinya menyatakan setiap orang berhak memperoleh lingkungan yang baik dan sehat.

Bahwa LBH Medan juga mendukung pembentukan Panitia Kerja (Panja) oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI untuk mengusut dugaan kelalaian insiden kebocoran gas H2S milik PT SMGP adalah upaya yang harus dilakukan guna terlindunginya hak asasi manusia.

Oleh karenanya LBH Medan sebagai Lembaga yang konsern terhadap hak asasi manusia menuntut agar :

  1. Menuntut Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mencabut izin dan/atau menutup PT SMGP ;
  2. Menuntut Kapolda Sumut mengambil alih penanganan kasus dan mengusut tuntas insiden kebocoran gas PT SMGP ;
  3. Menuntut PT SMGP untuk segera melakukan pemulihan/rehabilitasi lingkungan atas peristiwa kebocoran gas yang berulangkali terjadi.

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

BAGUS SATRIO, S.H. (0857 6250 9653)

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

https://sumut.jpnn.com/sumut-terkini/747/walhi-sumut-bongkar-hasil-investigasi-soal-pt-smgp-madina-pemerintah-harus-tau

Pengadilan Negeri Medan Aanmaning (Tegur) TVRI Stasiun Sumut

Pengadilan Negeri Medan aanmaning TVRI Sumut

LBH Medan, Press Release – Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan melayangkan Relas Panggilan Aanmaning (teguran) terhadap TVRI stasiun Sumut untuk menghadiri sidang Aanmaning pada hari Selasa, 18 April 2022 di Pengadilan Negeri Medan.

Relas panggilan tersebut didasarkan atas putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Perdata Khusus yaitu Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dengan Nomor: 1298 K/Pdt.Sus-PHI/2021 terkait pemberhentian sepihak dilakukan TVRI Stasiun Sumut terhadap Devis Abuimau Karmoy yang merupakan Mantan Kontributornya.

Diketahui terkait putusan yang telah berkekutan hukum tetap (in kracht van gewisjde) tersebut pihak TVRI Sumut sampai saat ini belum melaksanakan apa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung RI.

LBH Medan sangat menyayangkan tindakan TVRI stasiun Sumut yang belum melaksanakan putusan Mahkama Agung tersebut. LBH Medan menduga tindakan TVRI merupakan bentuk ketidak-taatan hukum yang dilakukan TVRI Sumut.

Perbuatan tersebut sangat merugikan Devis Abuimau Karmoy dalam mencari keadilan. Seharusnya TVRI yang memiliki slogan TV “pemersatu bangsa” ini yang merupakan representatif terhadap pemerintah yang seharusnya taat akan hukum yang berlaku, bukan malah sebaliknya.

LBH Medan menduga apa yang dilakukan TVRI Stasiun Sumut telah melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Pasal 3 ayat (2), (3) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR, Pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 90 ayat (1), Pasal 156 ayat (2), (3), dan (4), dan Pasal 161 ayat (1) dan (3) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu LBH Medan meminta kepada TVRI Stasiun Sumut untuk segera melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagai bentuk ketaatan terhadap aturan hukum yang berlaku.

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

https://medan.tribunnews.com/2022/01/12/berita-foto-4-tahun-perjuangan-devis-abuimau-karmoy-akhirnya-dikabulkan-mahkamah-agung-ri

Polres Madina Harus Segera Tangkap Pelaku Kekerasan Pers Di Madina

Kekerasan Terhadap Pers

LBH Medan, Press Release – Tindak kekerasan terhadap Insan pers kembali terjadi, kali ini menimpa Jefri Barata Lubis yang merupakan wartawan sekaligus ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Mandailing Natal (Madina).

Berdasarkan pemberitaan yang viral saat ini, kekerasan yang terjadi terhadap Jefri Barata Lubis di Lopo Mandailing Kopi, Desa Pidoli, Lombang, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang diketahui terekam CCTV dan menunjukkan wajah para pelaku kekerasan terhadap pers tersebut.

Diduga tindakan kekerasan yang dilakukan para pelaku tersebut merupakan suruhan Penambang Emas Tak Berizin (PETI), yang disinyalir resah atas pemberitaan Jefri Barata Lubis di media.

LBH Medan mengecam keras tindakan-tindakan kekerasan terhadap pers, secara tidak langsung tindakan tersebut telah membunuh demokrasi di negeri ini dan mengancam kerja-kerja pers.

Pers sebagai pilar demokrasi yang bertugas melakukan kegiatan jurnalistik dalam hal mencari, mengolah dan menyampaikan berita yang benar kepada masyarakat baik secara tulisan, suara, gambar dll. jelas dilindungi oleh undang-undang dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Oleh karena itu, sudah barang tentu para pelaku dan otak pelaku tersebut harus ditindak tegas dan jika sebaliknya ada kekeliruan atau kesalahan dalam kerja-kerjanya maka ada wadah untukmengujinya. Bukan malah melakukan main hakim sendiri.

LBH Medan meminta Polres Mandailing Natal (Madina) harus dengan cepat, transparan, dan profesional dalam menangkap para pelaku dan mengungkap otak pelaku terkait kekerasan terhadap pers tersebut, agar terciptanya keadilan dan kepastian hukum terhadap insan pers khususnya Jefri Barata Lubis.

LBH Medan menduga tindakan kekerasan tersebut telah melanggar UUD 1945 Pasal 28 B Ayat (2), Pasal 28 I, KUHP, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, UU Nomor  5 Tahun 1998, UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

 

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H (0823 8527 8480)

 

Baca juga => https://rri.co.id/gunung-sitoli/politik-hukum/hukum/1377561/kekerasan-terhadap-jurnalis-di-madina-polisi-didesak-tangkap-pelaku-bersama-otak-intelektual

https://lbhmedan.org/putusan-kasasi-belum-dilaksanakan-pn-medan-aanmaning-tegur-tvri-stasiun-sumut/

Kerangkeng Manusia Adalah Pelanggaran HAM Berat

Kerangkeng Manusia

LBH Medan, Press Release – Kasus kerangkeng manusia milik Bupati non-aktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) terkait dugaan perbudakan modern yang telah dilaporkan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) ke komnas HAM memasuki babak baru.

Berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM mengungkap tabir adanya dugaan penyiksaan, kekerasan dan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Penyelidikan yang dipimpin komisioner Komnas HAM RI M. Choirul Anam telah memeriksa 48 orang saksi yang terdiri dari penyidik KPK, Terbit Perangin-angin, Penghuni, Mantan penghuni kerangkeng beserta keluarganya, kepala dan dokter puskesmas, serta staf pemerintah desa.

Hasil Pemantauan dan Penyelidikan menjelaskan bahwa kerangkeng tersebut sudah ada sejak tahun 2012 dan saat ini ada 57 orang penghuni kerangkeng. Jumlah tersebut dibagi menjadi dua kerangkeng yang berukuran 6×6 meter dengan masing-masing sejumlah 30 penghuni dan 27 penghuni.

Miris temuan Komnas HAM diduga ada 26 dugaan bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni kerangkeng seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, disuruh bergelantungan di kerangkeng seperti monyet (gantung monyet), dicambuk anggota tubuhnya dengan selang.

Dua kerangkeng manusia serupa penjara yang terbuat dari besi diduga digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang. Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya. Selepas bekerja, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng, sehingga tak memiliki akses keluar.

Dugaan kekerasan dan penyiksaan dilakukan dengan menggunakan sekurangnya 18 alat seperti tang, cabai, selang, palu dll. Kekejaman tersebut menggambarkan adanya Perbudakan modern yang berkedok rehabilitasi narkotika. Akibat tindak kekerasan yang terjadi sedikitnya diduga telah memakan 6 (enam) orang korban meninggal dunia.

Bahkan tidak hanya berhenti ditindakan kekerasan saja, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan 25 fakta yang mendukung temuan dari Komnas HAM diduga adanya pengondisian masyarakat untuk mendukung keberadaan sel, tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat, tidak ada aktivitas rehabilitasi dan pembatasan kunjungan.

Fakta baru diduga adanya keterlibatan oknum TNI dan Polri dalam tindak penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni kerangkeng.

Setidaknya ada 19 orang yang patut diduga sebagai pelaku kekerasan, diantaranya pengurus kerangkeng, penghuni lama, anggota ormas tertentu hingga keluarga Bupati,disinyalir pelanggaran HAM tersebut ditopang kekuatan uang dan kekuasaan Bupati Langkat.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia menduga tindakan yang dilakukan oleh Bupati Langkat dengan membuat kerangkeng manusia tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM berat. Karena jika mengacu pada hasil temuan Komnas HAM dan LPSK, dugaan tindak penyiksaan atau kekerasan serta merendahkan harkat dan martabat manusia tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis dan sangat kejam ditambah lagi hal tersebut diduga dilakukan oleh Penguasa.

Seharusnya Bupati Langkat melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan malah sebaliknya yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Oleh karenanya LBH Medan menilai jika perkara a quo patut dibawa diadili di pengadilan HAM dan medorong LPSK memberikan Perlindungan maksimal kepada korban dan saksi karena diduga rentan mendapatkan intimidasi.

LBH Medan menduga tindakan Bupati yang juga melibatkan oknum TNI dan Polri dll, telah melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 A dan G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 4 UU 39 Tahun 1999, Pasl 7 huruf b UU Nomo 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia/ United Nations Declaration of Human Rights), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia, Pasal 6 Ayat (1) ICCPR (International Covenan Civil and Political Rights).

Narahubung :

IRVAN SAPUTRA, S.H., M.H (0821 6373 6197)

TRI ACHMAD TOMMY SINAMBELA, S.H (0823 8527 8480)

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

https://news.detik.com/berita/d-6004524/8-tersangka-kerangkeng-bupati-langkat-tak-ditahan-lbh-medan-tidak-fair

Kekerasan Seksual Meningkat, Korban Semakin Sekarat

“Aku ingin bapak dipenjara”

Begitulah harapan penuh kesedihan yang dilontarkan oleh RE saat menceritakan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh sang bapak kandung terhadapnya. Harapan terakhir yang sebenarnya  tidak akan bisa menutup luka fisik dan psikis yang timbul karena ulah bejat bapakya. Kekecewaan yang mendalam saat orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindungnya malah berlaku seperti orang asing yang jahat.

Perempuan yang kini masih berusia 14 tahun tersebut mengungkapkan bahwa pemerkosaan itu pertama kali dilakukan bapaknya yakni JS pada tahun 2019 silam. Berawal saat RE sedang main handphone di ruang tengah rumah mereka.

Bapaknya tiba-tiba datang menarik tangannya secara paksa ke kamar mandi dan melakukan perbuatan keji dan menjijikkan itu di sana. Dalam keadaan itu, RE tak kuat melawan karena tenaganya tidak sebanding, juga lantaran sudah dihantui oleh ketakutan. Setelah itu, JS kembali mencoba melakukan pemerkosaan selama 2 kali namun selalu gagal.

LBH Medan mendampingi RE Korban Kekerasan Seksual

Akibat kejadian itu RE kabur dari rumah dan menumpang ke rumah temannya. Pada awalnya RE tidak berani menceritakan kejadian itu kepada Mamanya. Namun, pada akhirnya kasus itu terbongkar. Mirisnya Mama, RE dan adik-adiknya malah diusir dari kampungnya di daerah Patumbak karena dianggap merupakan aib. Parahnya ada masyarakat yang sanggup menuduh bahwa perbuatan itu terjadi karena RE yang menggoda bapaknya.

Selama ini JS berprofesi sebagai penjual ikan dan tuak. Mereka menganggap JS sebagai orang baik karena kerap membagi-bagikan tambul atau makanan selingan tuak untuk para pembeli tuak di kedainya. Disinyalir JS berhasil melarikan diri karena dibantu oleh masyarakat. Akibat kejadian ini sekolah RE terganggu padahal dia merupakan salah satu siswa yang berprestasi dan meraih peringkat 2 di kelasnya.

 

Ilustrator : Rimma Itasari NababanIlustrator : Rimma Itasari Nababan

Ketimpangan Relasi Kuasa

Kasus yang menimpa RE menambah deretan kasus yang membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Pelakunya bahkan bisa orang yang paling dekat dengan korban termasuk keluarga dan orangtua kandung. Kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini juga bisa terjadi di rumah korban sekalipun.

Ini juga membuktikan bahwa semakin hari, ruang aman khususnya untuk anak dan perempuan semakin tergerus. Para pelaku umumnya berusia lebih tua sementara korban masih banyak yang berada di bawah umur bahkan terdapat banyak kasus dimana korbannya masih balita. Usia yang tua tidak menjamin seseorang memiliki pola pikir yang dewasa dan bijak. Para orang tua yang seharusnya menjadi tameng pelindung justru menjadi api yang membakar anak-anaknya.

Sebagai seorang anak, RE merupakan pihak yang lebih rendah dan lemah baik dalam posisi kuasa dan kekuatan fisik, tidak seimbang dan sulit untuk melakukan perlawanan baik saat peristiwa pemerkosaan itu terjadi maupun setelahnya. Parahnya saat kasus ini merebak luas dan diketahui oleh masyarakat para warga sekitarnya justru mempersalahkan RE, menuduh dengan mengatakan bahwa mungkin RE-lah yang awalnya menggoda bapaknya.

Bapak RE dinilai sebagai orang baik oleh masyarakat karena sering membagikan tambul tuak kepada orang yang datang ke kedainya. Akibatnya masyarakat menempatkan RE sebagai orang yang bersalah sehingga mengusirnya dari rumah dan kampungnya dengan alasan telah membawa aib bagi kampung. Sehingga dalam kondisi ini terjadi playing victim, RE menjadi korban untuk kedua kalinya.

Tidak hanya menanggung penderitaan dan kekerasan secara fisik maupun psikis dari bapaknya namun juga cacian dan bahkan pengusiran dari warga kampungnya. Sementara bapaknya dibiarkan bebas dan seolah mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari masyarakat. Hal inilah yang kerap menjadi awal konflik bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual terus terjadi. Penanganan yang berperspekif korban masih sangat minim.

Belakangan ini publik juga dibuat semakin gerah dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang kian ramai diberitakan. Meskipun pada akhirnya banyak korban yang berani untuk bersuara, melaporkan dan menjadi penyintas, namun sebenarnya lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan.

Fenomena ini seringkali disebut dengan istilah “gunung es” oleh banyak pihak khususnya lembaga-lembaga yang concern pada isu perempuan dan anak. Kasus-kasus yang dilaporkan dan viral hanya merupakan yang terlihat di puncaknya saja. Sementara di dasarnya lebih banyak lagi yang mengendap, didiamkan baik karena ketidakberanian korban untuk bersuara dan penyebab lainnya termasuk susahnya upaya dan penegakan hukum.

Selain itu, para pelaku pada umumnya merupakan orang dewasa yang punya kuasa menjadi salah satu hambatan besar bagi korban untuk memperoleh keadilan. Misalnya dalam kasus pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari yang dilakukan seorang pejabat polisi bernama Kompol dr. M, Sp.F, yang bertugas di Dokes Polda Sulawesi Barat sekaligus jadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Kendari.

Atau dalam kasus pemerkosaan dan pencabulan terhadap para santriwati saat para korban mengikuti rekruitmen petugas klinik kesehatan di RSTMC. Pelakunya ialah MSAT yang merupakan pemilik Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC) sekaligus putra pemilik Pondok Pesantren Shidiqiyah Jombang. Terdapat penyalahgunaan status dan kewenangan pelaku sebagai seorang pemuka agama yang memandang dirinya berada lebih tinggi dari orang lain, sementara para santrinya harus tunduk.

Lalu pada akhirnya kepatuhan para santrinya menjadi kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik tidak melakukan penahanan. Kasus ini sempat tidak mendapatkan penanganan serius dan terjadi bolak-balik perkara antara penyidik dan penuntut umum hingga Komnas Perempuan mengirimkan surat rekomendasi yang mendesak Polda Jatim dan Polres Jombang agar segera melakukan penahanan terhadap MSAT.

Dalam banyak kasus lainnya terlihat jelas bahwa kedudukan korban lebih lemah dibanding pelaku baik dari segi usia, tenaga atau kondisi fisik, jenis kelamin, status dan kedudukan sosial. Hal inilah yang disebut dengan relasi kuasa yang timpang. Apalagi jika pelaku merupakan pejabat atau memiliki kekuasaan yang bisa mengancam korban dan mengintervensi penanganan hukumnya. Sehingga tak heran, banyak korban yang akhirnya tidak berani dan tidak kuat untuk melawan dan melaporkan. Jika pun pada akhirnya kasusnya dibawa ke ranah hukum, para korban malah kerap mengalami kriminalisasi dan diskriminasi. Selain itu penegakan hukum terhadap korban masih belum memperhatikan pemulihan terhadap korban (victim oriented)

Parahnya, korban kekerasan seksual kerapkali harus menerima victim blaming dari masyarakat. Dipersalahkan, dicaci, dianggap aib, diusir seperti kasus RE dan dipermalukan dengan berbagai alasan. Misalnya, korban mengalami pemerkosaan namun malah dipersalahkan oleh masyarakat yang menganggap pemerkosaan itu terjadi karena si korban mengumbar aurat karena mengenakan pakaian terbuka. Sementara itu ada banyak kasus dimana korban yang mengalami perkosaan juga padahal mengenakan pakaian yang tertutup dan longgar.

Dalam beberapa kasus yang ditangani oleh LBH Medan, ada beberapa korban yang malah dituduh menggoda pelaku. Padahal para korban masih berusia anak-anak yang notabenenya belum memiliki nafsu seksual dibanding para pelakunya yang sudah dewasa bahkan memasuki usia lansia. Fakta ini menunjukkan bahwa beragam jenis kejahatan seksual terjadi karena ulah dan niat jahat dari pelaku itu sendiri.

Masyarakat lupa bahwa luka yang dialami korban bukan hanya luka fisik namun luka psikis yang belum tentu bisa disembuhkan. Sementara itu pelaku terkadang bebas berseliweran atau malah mendapat pembelaan. Hal ini berdampak pada impunitas terhadap pejabat, tokoh agama, tokoh publik ataupun pelaku lainnya sementara korban kekerasan seksual tidak kunjung mendapat pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihannya.

Edukasi yang Tak Kunjung Berhenti

Beberapa pelaku kekerasan seksual yang berhasil dijebloskan ke balik jeruji besi selalu diharapkan menjadi contoh edukasi agar kasus serupa tak berulang lagi. Dijadikan cermin yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Namun edukasi yang dimaksud hanya sebatas isapan jempol belaka. Faktanya kasus kekerasan seksual tetap tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020, sepanjang 2020 Komnas Perempuan menerima 955 kasus kekerasan seksual. Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Kependudukan (United Nations Fund for Population Activities/UNFPA)  bahwa terdapat 1 dari 3 perempuan Indonesia berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.

Tentu perlu gerak langkah dan upaya-upaya nyata yang harus dilakukan baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara. Pendidikan seksual sejak dini harus dilakukan baik di lingkungan keluarga maupun pendidikan. Mengembalikan marwah dan fungsi pranata keagamaan yang tercoreng oleh perilaku maksiat para pemukanya.

Selama ini banyak pelaku yang bebas dari jeratan hukum karena undang-undang belum mengatur jenis kekerasan seksual yang dilakukannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan. Sementara dalam praktiknya terdapat banyak jenis kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Selain itu penegakan hukum selama ini hanya berfokus pada pelaku sehingga tidak memperhatikan kondisi maupun pemulihan korban baik fisik maupun psikis seperti pendampingan psikologis. Hal inilah yang diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun RUU yang telah diinisiasi sejak tahun 2012 ini tak kunjung mendapat pengesahan dan diuber-uber dari tahun ke tahun. Keluar masuk Program Legislasi Nasional dan sempat dicabut dengan alasan pembahasannya sulit. Hal ini mengindikiasikan kurangnya keseriusan pemertintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghentikan kekerasan seksual di tengah maraknya berbagai kasus di seluruh penjuru negeri.

Sehingga untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual, RUU PKS memiliki urgensi untuk segera disahkan. Selain cakupannya lebih luas, RUU PKS memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian selama proses hukum. Selama ini keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan dari pelaku atau pihak lain yang hendak membungkam mereka. Di samping itu, RUU PKS tidak hanya melindungi para korban pelecehan seksual, namun juga memberikan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual yang bertujuan untuk mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.

 

Penulis : Rimma Itasari Nababan, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://medan.tribunnews.com/2022/01/10/demi-puaskan-nafsu-penjual-tuak-tega-rudapaksa-anak-kandung-di-kamar-mandi-ini-kata-kuasa-hukum

 

PHK Sepihak Maskinah

PHK Sepihak, Maskinah Berjuang Mendapatkan Hak

PHK Sepihak

LBH Medan, Artikel – Agenda mediasi atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Maskinah oleh PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi (PT. ELMOKA) hanya dihadiri oleh Maskinah dan kuasa hukumnya karena PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi dan/atau kuasa hukumnya kembali mangkir dari surat panggilan. Awalnya mediasi dijadwalkan pada hari Rabu, 19 Januari 2022 pukul 09.00 WIB di Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan dengan mediator Jones Parapat. Maskinah selaku pemohon datang dengan didampingi kuasa hukumnya. Namun sayangnya panggilan mediasi kedua ini juga kembali tidak dihadiri oleh PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi dan/atau kuasa hukumnya. Agenda mediasi dalam tripartit ini merupakan panggilan kedua. Setelah sebelumnya upaya bipartite juga gagal karena pihak PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi tidak hadir.

Perselisihan hubungan industrial ini bermula saat Maskinah di PHK sepihak oleh perusahaan. Maskinah merupakan karyawan yang bekerja sebagai office girl dan penjaga toko di PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi yang beralamat Jl. Gaharu Komplek Jati Junction No. G 10 s/d G 11. Maskinah mulai bekerja sejak tanggal 17 Juni 2019 dengan gaji sebesar Rp1.500.000,00. Kemudian pada tahun 2020 sampai dengan 2021 mendapatkan gaji sebesar Rp1.600.000,00. Selama bekerja dari tahun 2019 hingga, Maskinah tidak mendapatkan cuti tahunan.

Pada tanggal 28 November 2021, Human Resource Development (HRD) PT. ELMOKA yang bernama Vivi Maria Hutapea menelepon Maskinah dan mengatakan bahwa Maskinah tidak perlu masuk kerja lagi dengan alasan pekerjaan Maskinah kurang baik berdasarkan pengaduan Silvia Aminyanco anak pemilik PT. Eletrika Medan Otomatik Abadi yang menyebutkan bahwa pekerjaan Maskinah dalam membersihkan kamar mandi kurang bersih dikarenakan masih ada rambut di kamar mandi.

Namun keesokan harinya yakni pada tanggal 29 November 2021, Maskinah tetap bekerja seperti biasa karena merasa tidak melakukan kesalahan. Dia kembali menanyakan secara langsung kepada HRD perihal pemecatan lisannya. Namun HRD menjawab, “ itulah pokoknya yang aku ceritai kayak tadi malam.” Vivi juga menolak saat Maskinah mencoba untuk meminta nomor Handphone anak pemilik perusahan untuk menanyakan terkait pemberhentian sepihak yang dihadapinya.

Maskinah merasa bahwa pemecatan dirinya tidak adil karena sebelumnya dia tidak pernah mendapatkan Surat Peringatan (SP) baik pertama,kedua maupun ketiga. Maskinah juga merasa adanya keganjilan karena pada tanggal 29 November 202, sudah langsung ada office girl baru yang menggantikannya. Selain itu BPJS Ketenagakerjaannya ditahan dan tidak mendapatkan pesangon.

 

Penulis : Rimma Itasari Nababan, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/perjuangan-mantan-kontributor-tvri-stasiun-sumut-dikabulkan-mahkamah-agung-r-i/

 https://medan.tribunnews.com/2022/01/12/berita-foto-4-tahun-perjuangan-devis-abuimau-karmoy-akhirnya-dikabulkan-mahkamah-agung-ri

Kapolres Asahan & Batu Bara Harus Segera Tangkap 44 DPO

LBH Medan Pos Asahan - Tanjung Balai - Batu Bara Desak Kapolres Asahan & Batu Bara Segera Tangkap 44 DPO

LBH Medan, Press Release – LBH Medan Pos Asahan – Tanjung Balai – Batu Bara mendesak Kapolres Asahan & Batu Bara harus segera menangkap 44 DPO (Daftar Pencarian Orang).

Jumat, 31 Desember 2021, Negara Republik Indonesia telah secara tegas menjamin hak warga negaranya dalam mendapatkan Perlindungan dan Kepastian hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang dasar 1945. Oleh karena itu kepolisian dalam hal ini POLRES ASAHAN dan POLRES BATU BARA serta Jajarannya sebagai reprensentatif pemerintah dalam Melindungi, Melayani, Mengayomi dan Melakukan Penegakan hukum serta Ketertiban dimasyarakat.

Bahwa sudah menjadi kewajiban Polres Asahan dan Batu Bara melakukan Penangkapan terhadap Tersangka yang telah ditetapkan Sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang). Karena sudah barang tentu diduga 44 orang DPO tersebut sangat berbahaya dan meresahkan masyarakat khususnya Asahan dan Batu Bara.

Berdasarkan data yang dimiliki LBH MEDAN POS ASAHAN – TANJUNG BALAI – BATU BARA tercatat diduga DPO di POLRES ASAHAN dan POLRES BATU BARA serta Jajaranya yang saat ini belum ditahan dan ditangkap yaitu diantaranya:

A. Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Asahan

Daftar 44 DPO Polres Asahan & Batu Bara I

B. Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Batu Bara

Daftar 44 DPO Polres Asahan & Batu Bara II

Adanya data tersebut LBH M EDAN POS ASAHAN – TANJUNG BALAI – BATU BARA sebagai lembaga bantuan hukum yang konsern terhadap penegakan hukum dan HAM secara tegas Mendesak KAPOLRES ASAHAN dan BATU BARA untuk segara melakukan penangkapan terhadap para DPO yang saat ini masih berkeliaran.

Hal ini sudah seharusnya merupakan tanggu jawab hukum KAPOLRES ASAHAN dan BATU BARA sebagai pimpinan kepolisian tertinggi di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batu Bara. Ini juga dapat dilihat sebagai bentuk keseriusan KAPOLRES ASAHAN DAN BATU BARA dan jajarannya dalam Memberikan Rasa Aman, Ketertiban dan Penegakan hukum di Kabupaten Asahan dan Batu Bara.

LBH Medan Pos Asahan – Tanjung Balai – Batu Bara menilai jika para DPO tidak ditangkap dengan sesegera mungkin maka telah mencederai Hak Asasi Masyarakat dan dikhawatirkan menghilangkan barang bukti serta melakukan tindak pidana lainya. Sekaligus bertentangan dengan Kode Etik Kepolisian yang wajib menjalankan tugasnya secara Profesional , Proporsional dan Prosedural dan diduga tidak menjalakan program Kapolri yaitu PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan Berkeadilan).

Terkait banyaknya Daftar Pencarian Orang (DPO) ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Pos Asahan – Tanjung Balai – Batu Bara, sebelumnya telah mengirimkan surat Nomor:11/LBH Medan Pos AS.TB.BB/XII/2021, Perihal Mohon Penjelasan dan Atensi tertanggal 17 Desember 2021, namun belum dibalas sampai saat ini.

LBH Medan Pos Asahan saat ini juga membuka Posko Pengaduan masyarakat terkait Daftar Pencarian Orang (DPO) yang tidak kunjung ditahan dan ditangkap oleh POLRES ASAHAN dan POLRES BATU BARA.

LBH Medan Pos Asahan – Tanjung Balai – Batu Bara menduga belum ditangkapnya Para DPO tersebut telah melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 5 UU 39 Tahun 1999, UU No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian, Pasal 17 Jo 21 KUHP yang menyatakan “perintah penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana dengan alat bukti yang cukup”, Pasal 7 Perkap Nomor: 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, PP RI. No.2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota Polri dan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM.)

 

Baca juga => https://sumut.suara.com/read/2022/02/24/120911/puluhan-dpo-diduga-belum-ditangkap-polisi-lbh-medan-meresahkan-dan-menghambat-investasi