Pos

REVIEW : Apakah Keadilan Mudah Untuk Didapatkan?

“Apakah Keadilan Mudah Untuk Didapatkan? “

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, di sepanjang tahun 2022 menerima banyak pengaduan dengan berbagai jenis kasus yang berkaitan dengan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Sipil dan Politik (Sipol) dan Sumber Daya Alam (SDA). Kasus yang masuk ke sistem Simpensus LBH Medan ada 32 kasus, jumlah tersebut belum semua kasus yang masuk ke sistem Simpensus millik LBH Medan dikarenakan ada kerusakan sistem, sehingga total kasus yang tercatat belum secara keseluruhan. LBH Medan mencatat ada 24 kasus, 2 diantaranya tahap konsultasi dan 22 lagi naik ke tahap litigasi, non litigasi maupun keduanya, ada 8 kasus yang ditangani secara litigasi dan 5 kasus ditangani secara non litigasi. Pemohon bantuan yang datang, menurut gender ada 13 perempuan dan 11 laki-laki.

Dari ke 24 pengaduan tersebut ada 22 pengaduan yang merupakan individu kemudian 2 pengaduan dari keluarga. Untuk kasus pidana ada 15 kasus, PHI ada 5 kasus, dan perdata ada 4 kasus. Di LBH Medan sendiri ada 3 divisi yang menangani kasus sesuai dengan pengaduan yang diterima. Pada Divisi PPA ada 7 pengaduan Kasus Kekerasan Seksual yang masuk ke LBH Medan, mayoritas korbannya adalah anak berusia 11-14 tahun dan 1 orang korbannya merupakan anak laki-laki.Ironinya dalam kasus Kekerasan seksual ini pelakunya rata-rata merupakan orang terdekat sang anak, mulai dari tetangganya, keluarga dan bahkan ayah kandungnya sendiri. Untuk tindak lanjut pengaduan LBH Medan melakukan tindakan berupa pelaporan kepada pihak kepolisian, penyelidikan, penyidikan dan pendampingan terhadap korban dalam bentuk pemeriksaaan kesehatan fisik dan mental korban.

Dari ke 7 kasus tersebut ada 1 kasus yang jalan di tempat dikarenakan pelaku dalam status DPO. Dalam hal penanganan kasus Kekerasan Seksual ini yang menjadi kendala LBH Medan adalah proses pelaporan kepada pihak Kepolisian yang terkesan diperlambat dan diabaikan. Kemudian Divisi Sipol, ada sebanyak 15 kasus pelanggaran hak sipil dan politik baik berupa kasus pidana, perdata, maupun pelanggaran terhadap hak-hak buruh (PHI). Ada 2 kasus menyangkut pengakuan dan jaminan atas pertanahan, 7 kasus Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan berdasarkan fokus isu LBH Medan mencatat ada sebanyak 6 kasus pelanggaran hak sipil baik korban maupun tersangka yang secara khusus di bawah naungan Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Dalam berbagai pelanggaran tersebut justru Kepolisian yang menjadi pelanggar paling banyak, polisi yang seharusnya melayani dan mengayomi masyarakat justru sebaliknya. Dan yang menjadi pelapor merupakan masyarakat di garis kemiskinan, namun pihak kepolisian juga terkesan menganggap remeh akan pelaporan tersebut. Jika orang miskin yang melapor, maka prosesnya akan lama, tetapi jika orang kaya yang melapor, proses akan dipercepat. Kemudian dalam Divisi SDA, tercatat ada 5 kasus mulai dari kasus pertanahan yang berpotensi menjadi kriminalisasi, eksploitasi satwa, pembangunan infrastruktur dan tindak pidana penyerobotan tanah.

Untuk penanganan banjir di Kota Medan dan di Belawan, LBH Medan menarik kesimpulan bahwa banjir di kota Medan selain cuaca, banjir juga disebabkan karna pasang surutnya air laut, kemudian adanya alih fungsi kawasan mangrove menjadi sawit yang diduga ilegal, banyaknya sampah yang dibuang sembarangan dan pembangunan infrastruktur pelabuhan. Sampai saat ini belum ada solusi yang tepat untuk menangani masalah banjir di Kota Medan. Kemudian kekurangan ruang terbuka hijau juga sangat mempengaruhi potensi terjadinya banjir. Harus ada 20% ruang terbuka hijau di Kota Medan, namun hal tersebut nihil dikarenakan pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan.

Perjuangan LBH Medan masih akan terus berlanjut, sesuai dengan salah satu misi LBH Medan, “menjadikan YLBHI-LBH Medan sebagai basis/rumah perjuangan bagi masyarakat miskin dan tertindas, dalam memperjuangkan sitem hukum yang adil dan berlandaskan Hak Asasi Manusia (HAM)”.

 

Artikel ini ditulis oleh Vitalentauly Nainggolan

Mahasiswi PKL dari Fakultas Hukum Universitas Sari Mutiara sebagai refleksi dari Konferensi Pers dan Launching Buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Editor : Rimma Itasari Nababan

 

REVIEW : Benarkah Polisi Sekarang Berbalik Menjadi Musuh Masyarakat?

“Kami berusaha supaya setiap tahun ada semacam refleksi penegakan hukum dan hak asasi manusia khususnya di Sumatera Utara berdasarkan perspektif LBH Medan yang tentunya berasal dari pengamatan dan pengaduan masyarakat,” tutur Ismail Lubis, S.H. selaku Direktur LBH Medan dalam pembukaan konferensi pers dan launching buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Adapun isu-isu yang dibahas diambil dari tiga divisi yang ada yaitu, Divisi Sipil dan Politik; Divisi SDA/Lingkungan; dan Divisi Perlindungan Perempuan & Anak. Jumlah kasus yang tercatat dalam CATAHU adalah sebanyak 24 kasus dimana 22 kasus berlanjut ke proses litigasi dan 2 kasus hanya sebatas konsultasi. Di antara 24 kasus, yang paling dominan adalah kasus pidana sebanyak 15 kasus disusul dengan kasus PHI sebanyak 5 kasus dan terakhir adalah kasus perdata sebanyak 4 kasus.

Pemaparan mengenai buku ini dimulai dari divisi Sipil dan Politik yang diketuai oleh Maswan Tambak, S.H. Beliau secara gamblang mengatakan bahwa bahkan sampai saat ini banyak isu sipil yang pelakunya adalah polisi, dimana aparat penegak hukum malah menjadi pelanggar hak sipil dan politik masyarakat. “Banyak kita temui ketika orang miskin menjadi korban dan melapor malah dipersulit dan kasus dibiarkan hingga bertahun- tahun,” ucap beliau seakan menegaskan bahwa penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat berada. Dilanjut dengan pemaparan dari perwakilan Divisi Perlindungan Perempuan & Anak dimana korban kasus Kekerasan Seksual yang tercatat dalam buku tersebut mayoritas anakanak berusia 11-14 tahun dan ironisnya pelaku cenderung adalah orang yang dekat dengan korban seperti tetangga, keluarga, bahkan orang tua kandung mereka sendiri.

Kasus Kekerasan Seksual ini bisa dikatakan memiliki proses yang panjang karena harus dilakukan pelaporan, penyelidikan, penyidikan, serta proses kesehatan dimana korban yang berusia di bawah umur harus menjalani pemeriksaan. Isu yang terakhir dipaparkan dalam Konferensi kali ini adalah isu tentang lingkungan yang disampaikan oleh ketua Divisi SDA/Lingkungan yaitu Muhammad Alinafiah Matondang, S.H., M.Hum dimana isu yang terjadi tentu saja tentang lingkungan seperti contohnya penanganan banjir di kota Medan yang terjadi di beberapa wilayah seperti Belawan dikarenakan pasang air laut, ada juga wilayah yang banjir dikarenakan pembangunan infrastruktur yang tidak merata, sampah menumpuk yang dibiarkan dan yang paling parah adalah alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan sawit alias tindakan ilegal. Itulah beberapa penjelasan singkat mengenai isu-isu yang dibahas ketiga divisi pada Konferensi Pers Launching Buku LBH Medan 2022. Walaupun sempat terjadi kesalahan teknis pada SIMPENSUS (Sistem informasi dan Pendokumentasian Kasus) LBH Medan di pertengahan tahun 2022 yang mengakibatkan tidak semua kasus dapat tercatat secara keseluruhan namun dapat dipastikan semua kasus dan penyelesaian hukumnya dalam buku dipaparkan dengan jelas oleh masing-masing divisi.

Ada satu kalimat yang menarik atensi saya yaitu ketika ketua Divisi Sipil dan Politik secara tegas menyampaikan opininya mengenai polisi sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya mengayomi masyarakat nyatanya malah menjadi oknum yang mempersulit masyarakat khususnya masyarakat miskin yang membutuhkan perlindungan. Saya sangat berharap agar kedepannya Kepolisian Republik Indonesia dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan bekerja lebih sungguh-sungguh untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat tanpa pandang bulu serta saya berharap LBH Medan akan terus berkomitmen untuk menjadi organisasi masyarakat yang memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas berlandaskan Hak Asasi Manusia.

 

Artikel ini ditulis oleh Ananda Geraldine

Mahasiswi PKL dari Fakultas Hukum Universitas Prima sebagai refleksi dari Konferensi Pers dan Launching Buku LBH Medan berjudul Batu Sandungan Penegakan Hukum dan Keadilan.

Editor : Rimma Itasari Nababan

Lagi, Penasehat Hukum Bharada E Diganti, Ada Apa dengan Polri?

Lagi, Penasehat Hukum Bharada E Diganti. Ada Apa dengan Polri?

Lagi, Penasehat Hukum Bharada E Diganti, Ada Apa dengan Polri?

Lagi, Penasehat Hukum Bharada E Diganti. Ada Apa dengan Polri?

(LBH Medan, 16 Agustus 2022). Bersumber dari berita Online Jakarta, Kompas.com tertanggal 12 Agustus 2022 diperoleh informasi pemberitaan terkait Bareskrim benarkan Bharada E cabut kuasa Deolipa Yumara dan M Burhanuddin. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, mencabut kuasa Deolipa Yumara dan Muh Burhanuddin dari status pengacaranya.

Kemudian diperoleh informasi dari akun youtube Metro TV dalam acara Kontroversi tertanggal 12 Agustus 2022 dengan judul “Motif Dewasa Sambo Bunuh Yosua”. Dalam acara tersebut hadir salah satu narasumber yaitu Deolipa Yumara yang diketahhui sebelumnya merupakan salah satu Penasihat Hukum Bharada E.

Dalam perbincangan acara tersebut, Deolipa Yumara mengatakan bahwasanya Bharada E telah mencabut kuasa. Surat pencabutan kuasa tersebut diperoleh Deolipa dari anak buahnya melalui pesan Whatsapp. Dari pesan whatsapp tersebut terdapat file surat pencabutan kuasa yang pada intinya dituliskan dalam bentuk ketikan. Terhadap surat yang diketik tersebut, Deolipa merasa janggal karena Bharada E berada dalam Tahanan sehingga tidak mungkin mengetik.

Pada saat acara live berlangsung Deolipa juga membacakan surat pencabutan kuasa tersebut yang pada intinya menerangkan terhitung 10 Agustus 2022 Bharada E mencabut kuasa yang diberikan kepada Deolipa Yumara, SH dan S. Psi dan Muhammad Burhanuddin, SH. dengan ini Surat Kuasa tertanggal 08 Agustus 2022 sudah tidak berlaku dan tidak dapat dipergunakan lagi. Surat pencabutan kuasa ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

LBH Medan berpendapat ada yang janggal dari pencabutan kuasa tersebut. Pertama, seorang Tersangka yang berada dalam Rumah Tahanan Kepolisian secara hukum hanya dapat ditemui oleh Keluarga dan atau Penasihat Hukum demikianlah diatur dalam Pasal 54 s.d Pasal 57 dan Pasal 61 KUHAP. Sedangkan selain dari Keluarga dan Pengacara maka hanya Penyidik lah yang berwenang menemui Tersangka dalam kepentingan Penyidikan.

Jika dari berita dan youtube tersebut diatas diketahui bahwa Deolipa selaku penasihat hukum baru mengetahui Surat Pencabutan Kuasa tersebut dari pesan whatsapp anak buahnya. Artinya hanya ada tiga kemungkinan, antara keluarga atau kepolisian atau memang inisiatif Bharada E lah pencabutan kuasa tersebut. Namun jika melihat dari keterangan Deolipa tersebut maka akan sangat sulit mengamini pencabutan tersebut dilakukan tanpa intervensi. Sebagai seorrang terssangka tentu bharada E membutuhkan bantuan hukum dari penasihat hukum.

Dari pengalaman LBH Medan sendiri, kerap kali pencabutan kuasa terjadi karena ada intervensi dari Penyidik atau Penuntut Umum atau pihak terkait lainnya yang tidak sejalan dengan LBH Medan sebagai Penasihat Hukum. pengalaman tersebut layak dijadikan sebagai dasar untuk berasumsi yang sama dengan apa yang dialami Deolipa dan rekannya.

Lembaga Bantuan Hukum Medan yang konsern terhadap penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia menilai bahwa Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) tentu segala aktifitas lembaga atau perangkatnya harus taat terhadap hukum. Pencabutan kuasa yang diduga penuh dengan intervensi tentu mengganggu nilai nilai Advokat yang bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 15 UU RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Apabila tidak ada pelanggaran Undang-Undang dan Kode Etik maka akan sangat aneh jika seorang Tersangka yang membutuhkan Pendampingan Penasihat Hukum mencabut kuasa dari Penasihat hukum yang telah mendampingi dengan keberanian mengungkap fakta ke publik. Advokat merupakan Penegak hukum bahkan di sebut sebagai Officium Nobile (Profesi yang Mulia) sebagaiama pada ketentuan Pasal 3 Huruf G Kode Etik Advokat Indonesia.

Atas dugaan intervensi pencabutan kuasa oleh Bharada E tersebut, LBH Medan Menilai Polri tidak Profesional. Kedepan tidak boleh ada intervensi terhadap tugas seorang atau lebih Advokat yang beritikad baik mendampingi kliennya. Terlebih dalam kasus ini, akan sangat merugikan jika Bharada E terus menerus mengganti Penasihat hukumnya terlebih apabila penggantian Penasihat hukum tersebut bukan karena kemauan dari Bharada E.

Contact person :
MASWAN TAMBAK (0895 1781 5588)
ALMA A’ DI (0812 6580 6978)

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/data-dpo-tak-kunjung-diberikan-ada-apa-polda-sumut/