Pos

Kebebasan Berekspresi Bagian Dari Demokrasi

kebebasan berekspresi

Pandangan Awal Kebebasan Berekspresi

LBH Medan, Artikel – Negara demokrasi merupakan Negara yang melindungi serta menjamin hak-hak masyarakat atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal yang sering terjadi dan memicu timbulnya sebuah konflik dalam kehidupan yang berawal dari kekeliruan dalam memahami sebuah kata “memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat atau menyampaikan pendapat” karena sejatinya setiap manusia bebas untuk mengutarakan pendapat dan berekspresi di muka umum.

Banyaknya kasus yang terjadi berawal dari bentuk sebuah protes dan berujung pada tindakan kekerasan, kerusuhan bahkan tindakan pidana. Sudah saatnya kita sadar akan aturan dan tata tertib hukum yang mengatur perilaku maupun tindakan kita. Bukankah kita merupakan salah satu bagian dari dunia ini yang menerapkan pilar demokrasi.

Secara harfiah kebebasan berpendapat menurut kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata bebas/kebebasan yang memiliki arti suatu keadaan bebas atau kemerdekaan, sedangkan pendapat/berpendapat berarti ide atau gagasan seseorang tentang sesuatu, maka kebebasan berpendapat merupakan suatu kemerdekaan bagi seseorang untuk mengeluarkan ide atau gagasan yang dimilikinya dan hal tersebut merupakan hak setiap orang.

Sebuah syarat adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, merupakan persyaratan yang mutlak dan yang harus dimiliki oleh suatu negara demokrasi. Kebebasan ini harus dijamin pula di dalam Undang-undang negara yang bersangkutan. Undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat itu harus dengan tegas menyatakan adanya kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam rangka kebebasan menyampaikan pendapat tersebut, maka setiap orang berhak mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkannya, sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya.

Dibalik   itu   harus   pula   ada   ketentuan Undang-undang   yang melarang  siapapun,  termasuk pemerintah  yang  ingin  mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan tersebut. Maksudnya adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan.

Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas. Kebebasan berekspresi tidak hanya penting bagi martabat individu, tetapi juga untuk demokrasi itu sendiri.

Pendapat Tokoh

(Dokumentasi dari https://en.wikipedia.org/wiki/John_Locke)

Matinya sebuah demokrasi ditandai dengan rakyat sudah tidak boleh lagi berbicara atau mengeluarkan pendapat. Padahal sebuah Negara harus memenuhi kriteria demokrasi, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama.

John Locke mengemukakan bahwa kebebasan bereskpresi dan berpendapat adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi kita atas fakta dan nilai.

(Dokumentasi dari : https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill#/media/Berkas:John_Stuart_Mill_by_London_Stereoscopic_Company,_c1870.jpg)

Sementara John Stuart Mill mengatakan, kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Mengapa demikian? sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan dalam mengontrol dan menilai setiap warga negara seharusnya bisa mengakses semua informasi yang diperlukan tentang pemerintah yang bersifat transparansi.

Tidak hanya sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan kemudian dapat di diskusikan di forum formal maupun non formal. Berdasarkan dari teori tersebut, kebebasan bereskpresi dan berpendapat kemudian menjadi sebuah klaim untuk mengkritisi penguasa yang melarang ataupun menghambat pelaksanaan dalam kebebasan berekspresi.

(Dokumentasi dari : https://en.wikipedia.org/wiki/Frank_William_La_Rue#/media/File:Frank_La_Rue_01.jpg)

Frank La Rue mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif, yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat.

Kebebasan berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi.

Landasan Hukum

(Dokumentasi dari : https://gls.gm/)

Kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, karena kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.

Kaitan kebebasan bereskpresi dengan demokrasi yang kemudian  diakui  dalam  hukum  internasional hak  asasi  manusia yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18 dan 19 yang juga terdapat di Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  12  Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang  menyatakan bahwa   kebebasan   berekspresi   merupakan   pra-syarat bagi perwujudan   prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan  hak  asasi  manusia.

Kebebasan  bereskpresi  juga  menjadi  pintu  bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih seperti yang tertuang didalam paragraph 3-4 Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik.

Pondasi utama dalam menentukan batasan konsep dan cakupan jaminan hak atas kebebasan berekspresi dikemukakan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tahun 1948, yang menegaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.

Ketentuan tersebut selanjutnya dielaborasi dan ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, yang secara detail dan rigid merumuskannya sebagai berikut; Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan, Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya, Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.

Oleh karena itu, hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk; menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

Berdasarkan Komite Hak Asasi Manusia menekankan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan pada dasarnya adalah melindungi semua bentuk gagasan subjektif dan opini yang dapat diberikan/sebarkan kepada orang lain. Sementara dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik kebebasan berpendapat dikatakan sebagai urusan pribadi yang terkait dengan alam pemikiran yang sifatnya mutlak, tak boleh dibatasi oleh hukum atau kekuatan lainnya.

Sesungguhnya hak untuk berpendapat tumpang tindih dengan kebebasan berpikir, yang dijamin Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpikir berkontribusi dalam kebebasan beropini, dimana pendapat adalah hasil dari proses pemikiran mengenai tentang cakupan perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan, dalam Komentar Umum No. 34 tentang Pelaksanaan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (paragraf 9 dan 12) menyebutkan:

... Semua bentuk opini dilindungi, termasuk pendapat yang bersifat politik, ilmiah, sejarah,  moral atau  agama.  ….Pelecehan,  intimidasi  atau  stigmatisasi  seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, mengadili atau memenjarakan karena alasan pendapat mereka, merupakan pelanggaran Pasal 19 ayat (1)”.

“… melindungi semua bentuk ekspresi dan cara penyebarannya. Bentuk-bentuk tersebut termasuk lisan, tulisan dan bahasa simbol serta ekspresi non-verbal semacam gambar dan bentuk-bentuk seni. Alat ekspresi termasuk buku, surat kabar, pamflet, poster, banner, pakaian serta submisi hukum. Dalam hal ini juga termasuk semua bentuk audio visual juga ekspresi elektronik dan bentuk-bentuk internet…”.

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen juga telah secara tegas memberikan jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara, yang dapat diidentifikasi dalam beberapa pasal berikut ini Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28 E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28 F “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Selain itu kalau kita melihat dari mandat konstitusional tersebut selanjutnya diatur lebih jauh dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kebebasan  berekspresi dan menyampaikan pendapat, salah satunya melalui Pasal 1 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan bahwa, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Jaminan tersebut berlaku bagi setiap warga negara, untuk bebas menyampaikan pendapatnya baik secara lisan, tulisan, dan  sebagainya,  sebagaimana ditegaskan  Pasal 2 Undang-Undang  No.  9  Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan, “setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Penegasan serupa juga mengemukan di dalam Pasal 23 ayat (2)   Undang-Undang  No.  39  Tahun  1999  tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.

Harapan Besar

(Dokumentasi dari : https://plus.kapanlagi.com/60-kata-harapan-dari-para-tokoh-terkenal-yang-bijak-bisa-jadi-nasihat-mendalam-b2f524.html)

Dan pada akhirnya ruang lingkup dan batasan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat setidaknya mencakup tiga jenis ekpresi yaitu: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk menerima informasi,  kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat juga melindungi semua informasi atau ide apapun termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau pun ide/gagasan.

Jadi termasuk gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, berita atau pun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis dan lain-lain. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi baik lisan, tertulis, cetak, media seni serta mediaapa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, spanduk dan lain-lain, termasuk kebebasan untuk melintas batas negara.

Secara yuridis kebebasan berekspresi telah di jamin oleh undang-undang, karena hal ini merupakan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi oleh negara dan demi untuk kemajuan bangsa itu sendiri dan juga kebebasan berekspresi dalam demokrasi sangat diperlukan sebagai bentuk kotrol masyarakat terhadap pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Bahwa kebebasan berekspresi ditegaskan sebagai kebebasan dasar yang paling penting bagi martabat individu untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi. Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi karena demokrasi tidak berjalan tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi.

Dalam perjalanan demokrasi yang paling baik ditandai dengan adanya upaya untuk mendorng terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial, karena hal ini merupakan sebuah hak yang fundamental bagi setiap manusia yang harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar, dan apabila dilanggar maka hal tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis : Hidayat Chaniago, S.H

Editor : Tri Achmad Tommy Sinambela, S.H

 

Baca juga => https://lbhmedan.org/lbh-medan-mengecam-keras-dugaan-kekerasan-terhadap-pers-meminta-polres-madina-segera-menangkap-mengungkap-para-pelaku-otak-pelakunya/

Hak Asasi Manusia Yang Harus Dijunjung Tinggi, Bukan Status & Jabatan !

Suara Rakyat Hak Asasi Manusia

LBH Medan, Suara Rakyat – Hak Asasi Manusia Yang Harus Dijunjung Tinggi, Bukan Status & Jabatan !

“Mereka berebut kuasa, mereka menentang senjata, mereka menembak rakyat, tapi kemudian bersembunyi di balik ketek kekuasaan. Apakah kita akan membiarkan para pengecut itu tetap gagah? Saya kira tidak, mereka gagal untuk gagah”- Munir Said Thalib

Sejarah HAM atau Hak Asasi Manusia, pertama kali dikemukakan pada abad ke-17 oleh seorang filsuf asal Inggris, bernama John Locke. Locke mengemukakan bahwa pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak natural/alamiah (natural rights) yang sudah otomatis melekat pada setiap manusia. Pada abad tersebut, kurangnya hak-hak sipil pribadi yang dihormati sebagai hak yang alamiah dipunyai oleh setiap manusia, itulah mengapa perkembangan HAM tidak akan luput dari tiga peristiwa penting di dunia, yang bertitik pusat awalnya dari negara barat, yaitu peristiwa Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis.

Hak Asasi Manusia yang telah dideklarasikan secara universal dan telah melewati beberapa perkembangan yang signifikan dalam penegakannya, untuk itu seperti yang jelas bersama-sama kita ketahui bahwa negaralah yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan, menghormati, menegakkan serta melindungi hak asasi bagi setiap rakyatnya.

Tak berhenti sampai hanya menghormati, negara juga berkewajiban  harus selalu berupaya untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para oknum-oknum yang bersembunyi di balik status dan jabatan.

Secara garis besar, HAM dapat didefinisikan sebagai kebebasan dan perlindungan dasar yang dimiliki setiap orang dari sejak saat lahir sampai meninggal. Hak Asasi Manusia telah secara otomatis melekat pada diri setiap insan manusia, yang tidak dapat di diskriminasi melalui kebangsaan, gender, suku, warna kulit, agama, orientasi seksual, keperrcayaan, jabatan serta status.

Hak Asasi Manusia diciptakan untuk secara jelas mengatur pemenuhan hak-hak dasar manusia, seperti makanan, pendidikan dan tempat tinggal yang layak. Hak Asasi Manusia juga yang telah mendorong gagasan perlindungan dari setiap manusia untuk kebebasan beragama, kebebasan berfikir, dan yang paling utama harus tetap dijunjung tinggi segala bentuk kebebasan berekspresi.

Memperingati Hari HAM sedunia tahun ini, apakah pelanggaran HAM semakin menurun atau malah semakin meningkat di Negara Indonesia yang seharusnya menjadi tempat demokrasi ternyaman saat ini?

Melansir dari Nasional.sindonews.com, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapatkan 2.331 kasus aduan dugaan pelanggaran HAM selama 2021. Jumlah tersebut merupakan hasil konversi dari 3.758 berkas yang diterima Komnas HAM sampai September 2021.

Baca beritanya di : https://www.sindonews.com/topic/17816/pelanggaran-ham

Pertengahan 2021, munculnya skenario pelemahan KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diduga ada unsur pelanggaran HAM di dalamnya. Proses alih status pegawai KPK yang diduga kuat sebagai salah satu bentuk penyingkiran kepada pegawai KPK dengan background tertentu serta adanya stigmatisasi taliban terhadap pegawai KPK yang belum dapat dibuktikan secara faktual dan hukum, ini adalah salah satu contoh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pejabat negara.

Sebagaimana yang telah diungkapkan ke publik, terdapat jenis-jenis pertanyaan dalam asesmen TWK, yang merupakan pertanyaan dengan poin serta indikator penilaian yang  dianggap sebagai stigmatisasi dari jawaban mereka atas asesmen TWK tersebut (indikator penilaian : merah, kuning, hijau).

Pertanyaan ini merupakan salah satu bentuk masalah serius dalam HAM karena bernuansa kebencian, ada benar salah, mendiskriminasi, ada pelabelan tertentu, merendahkan martabat dan tidak menghormati perspektif gender.

Bentuk-bentuk pertanyaan maupun pernyataan yang terdapat karakteristik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagai contoh :

“Apakah anda sudah menikah atau belum?”

“Apakah hubungan pernikahan anda baik?”

“Apakah anda ingat bagaimana rasanya berhubungan badan?”

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah contoh dari beberapa pertanyaan dalam asesmen TWK KPK yang diduga telah mengambil hak-hak asasi manusia dan terlebih hak sebagai perempuan, yang mana pertanyaan tersebut tidak ada relevansi sama sekali dalam proses TWK yang dilakukan.

Bentuk pertanyaan diatas yang mengandung unsur pelabelan untuk seseorang, sama sekali tak mengindahkan sebuah bentuk dari kesetaraan, terlepas pegawai KPK sudah menikah atau belum ataupun kehidupan pernikahannya baik atau tidak, pertanyaan dengan indikator semacam itu sudah jelas melanggar Hak Asasi Manusia.

Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia masih tergolong tinggi. Hal-hal yang masih saja sering dilakukan tanpa sadar merebut hak-hak asasi orang lain, dianggap biasa. Status dan jabatan yang lebih tinggi dari orang lain membuat legal tindakan-tindakan yang bisa mencoreng hak-hak asasi manusia. Mengapa demikian?

Di Indonesia sendiri, pemerintah yang sering merasa dirinya menjadi status dan jabatan yang paling tinggi, membuat dirinya seakan akan buta, tuli dan anti kritik. Demokrasi yang mencakup dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya analogi yang tak perlu dibuktikan, karena di Indonesia status dan jabatan seseorang lah yang membuat hak-hak sebagai manusia dapat terpenuhi dengan elegan.

Perlu ditekankan bahwa, hak asasi  adalah hak setiap manusia, tanpa terkecuali. Hak-hak yang harus dihormati sebagai imbalan telah menjalani kewajiban menghormati hak-hak orang lain pula. Sistem keberpihakan para pejabat negara, yang seolah tak akan pernah mau mengindahkan setiap hak asasi yang terus melekat pada setiap manusia, menjadi salah satu faktor terus meningkatnya pelanggaran HAM yang terjadi di negara demokrasi ini.

Para aparatur negara yang melabeli dirinya dengan sosok yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, acap kali berlebihan menggunakan kekuasaanya, yang disebut sebagai “saya sedang menjalankan tugas!”

Taufan Damanik, selaku Ketua Komnas HAM dalam rapat dengan Komisi III, di Senayan, Jakarta (4/10/2021) menjelaskan pengaduan terkait Polri sebagai salah satu bentuk Konkrit aparat penegak hukum, masih masuk kedalam klasifikasi pengaduan tertinggi yang diterima oleh Komnas HAM. Aspek pengaduan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri terkait dengan ketidakprofesionalan prosedur kepolisian hingga penyiksaan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil.

Contoh konkrit lainnya, adanya bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur Negara adalah kasus penangkapan sewenang-wenang mahasiswa Papua yang melaksanakan demonstrasi untuk memperingati Roma Agreement ke-59 atau mahasiswa dan para aktivis di Semarang yang mendapatkan tindakan represif dari aparat kepolisian ketika melancarkan aksi peringatan Hari Oligarki dan G30S/twk.

Dalam demonstrasi tersebut, yang merupakan bentuk kemerdekaan penyampaian pendapat yang sah, dengan dipertegas dalam instrument hukum HAM nasional maupun internasional, setidaknya terdapat 17 mahasiswa yang ditangkap secara sewenang-wenang dengan menggunakan alasan berupa Covid-19. Upaya-upaya intimidasi serta represifitas dari para aparat penegak hukum seperti hal biasa yang berulang-ulang tanpa menghormati hak-hak asasi yang melekat pada setiap manusia.

Tetaplah sebagai pengemban tugas yang baik dan melaksanakan sistem atas keberpihakan ideologis, namun hak asasi adalah hak setiap manusia. Para pejabat negara dan aparatur negara yang sedang menjalankan tugasnya, bukankah lebih baik untuk selalu beriringan dengan hak asasi manusia? Mengapa terus saja mengambil hak-hak manusia lain, yang status dan jabatannya dicap sebagai “jauh dibawah kalian”. Junjung tinggi hak asasi setiap manusia, bukan jabatan dan status.

 

Penulis : Novia Kirana (Mahasiswa Universitas Sumatera Utara)

Editor : Rimma Itasari Nababan, S.H