Jakarta, 5 Desember 2022 – Masyarakat menggelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab RKUHP di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia. Aksi ini dilakukan setelah Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa, 6 Desember 2022, meski aturan ini ditolak oleh masyarakat. RKUHP merupakan produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk oleh pemerintah dan DPR dengan tidak partisipatif dan tidak transparan. Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada tanggal 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.
Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat. Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.
Adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah yakni:
- Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 RKUHP)
Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
- Pasal terkait pidana mati (Pasal 100 RKUHP)
Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
- Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum: Pasal Subversif yang kembali muncul (Pasal 188)
Rapat Pembahasan RKUHP antara Pemerintah dan DPR Pada 24 November tiba-tiba memunculkan tambahan larangan dan ancaman pemidanaan bagi yang menyebarkan dan mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan pancasila.
Pasalnini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasa dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila.
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
- Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (Pasal 240 & 241 RKUHP)
Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
- Ancaman Pidana Bagi kerja-kerja Advokat dan Jurnalis dalam ruang sidang pengadilan (Pasal 280 RKUHP)
Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
- Pasal Kohabitasi : memunculkan legimasi persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat serta berpotensi mempidana korban kekerasan seksual (Pasal 412 RKUHP)
Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi ini juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
- Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.
Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.
- Ancaman Pemidanaan (Baru) Terhadap pawai, unjuk rasa dan Demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap menggangu ketertiban umum (Pasal 256 RKUHP)
Dalam draft 30 November 2022, dilarang dengan dipidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 10 juta, apabila pawai, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan dan dianggap mengganggu ketertiban umum
Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
Pasal ini lebih kolonial dari hukum buatan Belanda, asal pasal ini dari pasal 510 yang ancaman pidananya hanya penjara 2 minggu, sedangkan dalam pasal 256 menjadi penjara 6 bulan.
- Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat (Pasal 598 & 599 RKUHP)
Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
- Meringankan ancaman bagi koruptor (Pasal 603, 604, 605 dan 606 RKUHP)
Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.
- Korporasi sebagai entitas sulit dijerat (Pasal 46, 47 dan 48 RKUHP)
Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.
- Masalah Pengaturan Pidana Denda (Pasal 81)
Dalam draft 30 November, diatur jika pidana denda tidak dibayarkan kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk melunasi Pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
Permasalahannya, Pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Hal ini akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lainnya
Organisasi yang menolak pengesahan RKUHP bermasalah:
- YLBHI
- LBH Jakarta
- Trend Asia
- BEM Kema Unpad
- Greenpeace Indonesia
- BEM SI Kerakyatan
- HRWG
- BEM UI
- BEM STH Indonesia Jentera
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
- Imparsial
- KontraS
- WALHI
- ICEL
- PBHI
- HuMa
- LBH Masyarakat
- LBH Pers
- Aslam Syah Muda
- Bangsa Mahasiswa
- YIFoS Indonesia
- Transparency International Indonesia
- BEM FH UI
- Solidaritas Perempuan
- AMAN
- Amnesty International Indonesia
- BEM KM UGM
- ICJR
- ELSAM
- PSHK
- Perkumpulan Rumah Cemara
- BEM UPNVJ
- Konfederasi KASBI
- Serikat Mahasiswa Indonesia
- Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
- Arus Pelangi
- Federasi Serikat Buruh Makanan dan Minuman
- SGRC Indonesia
- Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
- Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta
- PurpleCode Collective
- Pamflet Generasi
- Perempuan Mahardhika
- Enter Nusantara
- LBH Bandung
- Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
- LBH Surabaya
- POKJA 30
- Gerakan #BersihkanIndonesia
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Jaringan Akademisi Gerak Perempuan (JARAK)
- DIALOKA
- Asia Justice and Rights (AJAR)
- LMID
- Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)
- Lingkar Studi Feminis (LSF)
- Lingkar Studi Advokat (LSA)
- Walhi Jakarta
- Space UNJ
- BEM FH UPN VJ
- LBH Padang
- HWDI DKI Jakarta
- Suara Pelangi Bogor
- Aliansi Persatuan Rakyat Bekasi (PERAK BEKASI)
- Amartya
- BEM FH Esa Unggul
- WALHI Bengkulu
- WALHI Kaltim
- WALHI Jawa Timur
- WALHI Yogyakarta
- WALHI NTT
- WALHI Jambi
- WALHI Papua
- WALHI Maluku Utara
- WALHI Jawa Tengah
- Sentra Gerakan Buruh Nasional
- WALHI Sulawesi Tenggara
- WALHI Sumatera Selatan
- WALHI Jawa Barat
- LBH Banda Aceh
- LBH Medan
- LBH Pekanbaru
- LBH Palembang
- LBH Padang
- LBH Lampung
- LBH Bandung
- LBH Semarang
- LBH Yogyakarta
- LBH Surabaya
- LBH Bali
- LBH kalimantan Barat
- LBH Samarinda
- LBH Palangkaraya
- LBH Makassar
- LBH manado
- LBH Papua
- Change.org Indonesia
- Gerpuan UNJ
- LBH APIK Jakarta
- Swara
- ASEAN SOEGIE Caucus
- Savrinadeya Support-Group
- BEM FH Unpad
- SAFENet
- LP3BH Manokwari
- WALHI Kalimantan Tengah
- WALHI Kepulauan Babel
- WALHI Aceh
- SKPKC Fransiskan Papua
- AJI Ambon
- AJI Balikpapan
- AJI Banda Aceh
- AJI Bandung
- AJI Batam
- AJI Bireun
- AJI Bojonegoro
- AJI Denpasar
- AJI Gorontalo
- AJI Jakarta
- AJI Jambi
- AJI Jayapura
- AJI Jember
- AJI Kediri
- AJI Kendari
- AJI Kupang
- AJI Lampung
- AJI Lhokseumawe
- AJI Tanjungpinang
- AJI Makassar
- AJI Malang
- AJI Manado
- AJI Mandar
- AJI Mataram
- AJI Medan
- AJI Purwokerto
- AJI Padang
- AJI Palembang
- AJI Palu
- AJI Pekanbaru
- AJI Bengkulu
- AJI Langsa
- AJI Pontianak
- AJI Semarang
- AJI Surabaya
- AJI Surakarta
- AJI Ternate
- AJI Yogyakarta
- AJI kota Pangkalpinang
- AJI kota Samarinda